Dari Kisah Nyata, Film 13 Bom di Jakarta Ceritakan Absennya Atribut Agama Dalam Kasus Terorisme!
Setelah didominasi film-film horor dan drama, pada akhir tahun 2023 lalu ada film genre action spionage Indonesia yang tayang di bioskop. Film 13 Bom di Jakarta merupakan ide dari Angga Dwimas Sasongko ini, membawa angin segar bagi sinema Indonesia. Hasilnya, IMDb mengganjar rating 8,4/10 dalam review film ini.
Film 13 Bom di Jakarta terinspirasi dari serangan teroris
Film ini terinspirasi dari salah satu serangan teror paling tragis di Indonesia tahun 2016 lalu. Adalah rangkaian serangan teror berupa serentetan ledakan bom beruntun di Jakarta yang diwarnai dengan enam ledakan, dan juga penembakan di daerah sekitar Plaza Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, pada tanggal 14 Januari 2016.
Ledakan itu terjadi di dua tempat, yakni daerah tempat parkir Menara Cakrawala, gedung sebelah utara Sarinah, dan sebuah pos polisi di depan gedung tersebut. Sedikitnya delapan orang (empat pelaku penyerangan dan empat warga sipil) dilaporkan tewas dan 24 lainnya luka-luka akibat serangan ini. Tujuh orang terlibat sebagai pelaku penyerangan, dan organisasi Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) mengklaim bertanggung jawab sebagai pelaku penyerangan.
Baca Juga:
Menggambarkan perang antara ICTA dengan gembong teroris
Berangkat dari tragedi itu, Angga Dwimas Sasongko mengemas Film 13 Bom di Jakarta dengan lebih dramatis. Dalam membangun konflik cerita, Angga merancang dua kubu utama, yaitu elit pemerintah melalui Badan Kontra Terorisme Indonesia (ICTA) dan gembong terorisme yang dipimpin oleh Arok (Rio Dewanto). Arok mengancam akan meledakkan bom setiap delapan jam sekali demi mewujudkan kepentingannya. ICTA melalui agennya Emil (Ganindra Bimo) dan Karin (Putri Ayudya) bergegas mencari Arok untuk menggagalkan teror dan menstabilkan keamanan negeri.
Namun, hasil penelusuran mereka justru mengarah pada Oscar (Chicco Kurniawan) dan William (Ardhito Pramono), dua orang pengusaha muda sekaligus pendiri perusahan financial technology, Indodax. Penampilan Agnes (Lutesha) juga mencuri perhatian karena berhasil menguatkan karakter dua pengusaha fintech tersebut.
Efek kejut di awal film
Untuk ukuran genre action baru, Angga langsung memberikan memberikan efek kejut di awal film berupa serangan teroris ke truk uang menggunakan AK-47 assault rifle dan rocket launcher di jalanan umum. Kontak senjata, ledakan dahsyat, propaganda isu ketidakadilan berkelindan menjadi fondasi narasi cerita.
Konflik yang dibangun dalam film ini mulai terlihat saat ICTA menemukan bahwa para teroris tidak tertarik pada uang. Sistem firewall ICTA lalu dibobol kelompok teroris untuk mempropagandakan misi peledakan 13 bom di 13 titik di Jakarta. Jalan cerita ini semakin menarik berkat hadirnya Indodax yang menambah kompleksitas di antara dua kubu.
Peta konflik dalam Film 13 Bom di Jakarta mudah dipahami
Karakter-karakter dalam film ini sengaja dibuat tidak hitam putih. Hal ini ditegaskan sendiri oleh si sutradara. Artinya, setiap pihak dalam film dibuat memiliki celah konflik masing-masing. Keputusan ini berfungsi untuk menyelipkan beberapa twist di dalam cerita. Penonton akan disuguhkan dengan lapis-lapis friksi sehingga ending film menjadi tak tertebak.
Film berdurasi 144 ini merumuskan peta konflik yang mudah dipahami. Isu sosial yang digambarkan dalam cerita sangat dekat dengan masyarakat, di antaranya masalah ketidaksetaraan ekonomi, investasi bodong, hingga KPR rumah. Penggambaran ini semakin paripurna berkat aksi-aksi kontak senjata intensitas tinggi yang dibalut sinematografi yang ciamik, efek visual yang megah, dan music scoring yang merinding.
Tidak ada identitas agama dalam kasus teroris dalam Film 13 Bom di Jakarta
Seperti yang telah disinggung di atas, Film 13 Bom di Jakarta terinspirasi dari satu kisah nyata. Hanya ia dimodifikasi agar melahirkan tontonan yang lebih dramatis dan entertaining. Salah satu yang kentara adalah absennya identitas agama dalam film ini. Secara tersirat, film ini mengindikasikan dua hal; pertama, terorisme tidak mempunyai agama; kedua, agama bukanlah dasar prinsipil mengapa orang menjadi teroris.
Angga Dwimas Sasongko memilih untuk menggunakan isu ketidakadilan ekonomi akibat sistem negara yang tidak berpihak kepada rakyat sipil. Pilihannya ini justru valid. Salah satu narasi dominan yang digunakan kelompok radikal terorisme adalah isu oligarki, sistem yang korup, dan kapitalisme yang kemudian dikelola lebih jauh menggunakan teks teologis sehingga lahirlah teroris berbaju agama. Melalui sosok Arok, film tersebut menegaskan bahwa teroris sejatinya tidak dibentuk semata melalui jalur teologis, namun isu yang lebih esensial yaitu kesejahteraan.
Baca Juga:
Review Film 13 Bom di Jakarta
Beberapa hal yang cukup disayangkan dari sinema produksi Visinema ini di antaranya adalah kurang dalamnya penggambaran kompleksitas karakter antagonis dalam diri Arok. Teroris dalam film ini diceritakan sebagai salah satu main characters, tapi entah mengapa film ini tidak memberikan cukup porsi untuk menceritakan konteks kenapa si Arok berubah menjadi sosok yang militan.
Sebagai film yang terinspirasi dari kisah nyata, film ini sebenarnya bisa menjadi media edukasi audiens soal kompleksitas sosial yang rentan melahirkan sosok teroris. Namun, film ini tampak lebih memutuskan untuk memberikan porsi lebih kepada aksi car chase, perkelahian, baku tembak, dan ledakan-ledakan dahsyat.
Gimmick’ yang ditawarkan dalam film juga cukup elegan, yakni menghadirkan start up fintech dalam wujud Indodax. Sebetulnya, tanpa Indodax pun, film ini sudah memiliki premis yang cukup untuk menghadirkan cerita aksi-spionase antara Badan Kontra Terorisme Indonesia (protagonis) dan kelompok teroris Arok (antagonis). Indodax ditampilkan untuk menegaskan lemahnya sistem intelijen siber milik Badan Kontra Terorisme Indonesia (ICTA). ICTA diceritakan tidak mempunyai literasi digital yang baik soal financial technology sehingga terlihat kepayahan dalam mengikuti pergerakan kelompok teroris yang cenderung melek digitalisasi finansial.
Terlepas dari hal itu, 13 Bom di Jakartasangat relevan baik sebagai film aksi heroik maupun media edukasi terutama dalam hal penanggulangan aksi terorisme di Indonesia. Audiens diajak untuk menyaksikan bagaimana prinsip kemanusiaan dibenturkan dengan prinsip keadilan sosial yang pada akhirnya memunculkan militansi pada diri seseorang. Penonton juga diajak untuk berpacu dengan waktu untuk berusaha menggagalkan bom tersebut dan mengungkap jaringan di balik rangkaian aksi teror.
Pada akhirnya, absennya atribut agama dalam film ini meruntuhkan stereotipe di benak masyarakat bahwa terorisme selalu beririsan dengan satu agama. Atau lebih spesifik lagi, mengaburkan stereotip Islam sebagai agama yang selalu berhubungan dengan kekerasan.
Baca Juga: 5 Hal Menarik dari Film Sisu (2023), Diharapkan Jadi Penerus John Wick
BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.