CerpenSastra

Berhentinya Bunyi yang Berdegub-degub

Aku benci jika harus mendengar detak jantungku sendiri. Ketika bunyi yang berdegup-degup itu memaksa menerobos organ pendengaranku dan rasanya seperti ingin melompat keluar dari rongga dadaku, itulah saat-saat yang paling tidak Aku suka. Sungguh, Aku tidak sedang bercanda.

“Hei, berhentilah! Kumohon!”

Berbagai cara sudah kulakukan untuk menghentikannya. Berulang kali Aku memakinya, namun dia sama sekali tidak mau menggubris ucapanku. Justru semakin berdegup kencang. Bunyinya semakin terdengar bising di telingaku. Degupannya semakin menekan-nekan keluar dadaku dan itu sangatlah menyakitkan.

“Berhentilah, dasar bodoh!”

Pernah suatu waktu dia terus berdegup kencang seharian. Sama sekali tidak mau berhenti. Tubuhku dibuatnya panas dingin. Pikiranku menjadi kacau. Aku sangat benci situasi saat itu. Karena sudah tak tahan dan hampir merasa kalut, Aku sempat berpikir untuk membunuhnya. Ingin Aku hentikan dengan paksa bunyi bergedup-degup yang dibuatnya itu.

“Kau adalah satu-satunya hal sial yang kumiliki.”

Aku semakin dibuat frustasi olehnya. Keberadaannya yang sebatas numpang di dalam tubuhku, justru berani bertindak semaunya, sama sekali tidak mau menurut padaku. Dia pembangkang. Selalu berbuat semena-mena, sulit dikendalikan. Aku terus terabaikan. Padahal, bukankah seharusnya Aku yang berkuasa di sini?

Saat ini, Aku sungguh marah padanya. Kali ini tindakannya benar-benar keterlaluan. Sudah sangat lama dia berdegup-degup kencang seperti ingin melompat keluar. Sudah lebih dari satu pekan rasanya. Kupikir dia benar-benar ingin keluar dari tubuhku sekarang. Sepertinya dia sedang menantangku.

“Jika kau tidak juga berhenti, maka dengan sangat terpaksa aku akan menghentikanmu, bagaimana pun caranya. Aku tidak peduli, kalaupun harus dengan cara kekerasan.”

Aku mencoba mengancamnya, memberi sedikit rasa jera pikirku. Siapa tahu dia menjadi takut dan mau menurut. Dengan begitu, dia akan mengehentikan tindakannya yang semena-mena. Aku sendiri tidak yakin akan benar-benar menggunakan cara kekerasan itu. Namun tidak ada yang tahu bagaimana nantinya. Yang jelas, ancaman itu adalah cara terakhir yang dapat kulakukan untuk mencoba menghentikan bunyinya yang berdegup-degup itu. Karena Aku sudah benar-benar marah dan lelah.

Satu menit.

Dua menit.

Tiga menit.

Empat menit.

***

Sudah lima menit berlalu. Dari balik jendela kamar, Aku melihat diriku tengah duduk termenung di samping tempat tidur. Kepalanya ditundukkan, kedua tangannya memeluk lutut. Diriku tampak frustasi, rambut panjangnya terlihat acak-acakan. Aku tahu betul apa yang sedang dirasakannya sekarang.

Namun saat ini Aku benar-benar tak berdaya. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa melihat diriku dari balik jendela. Meski selama ini Aku sering dimaki, disalahkan, bahkan dibenci, namun Aku tahu, jauh di lubuk hatinya diriku tak benar-benar memiliki perasaan itu. Diriku sangat menyayangiku. Aku bisa merasakannya. Ya, hanya Aku yang bisa merasakan.

Aku sadar akan tindakanku selama ini, seringkali bertindak sesuka hati dan membuat diriku jengkel. Menciptakan debar yang selalu menyakitinya dan melukai orang-orang disekitarnya. Namun apa yang bisa kuperbuat? Aku diciptakan untuk menjadi diriku dan Aku dikendalikan oleh yang lebih mempunyai hak berkuasa.

Sebenarnya Aku ingin, sangat ingin menuruti perkataan diriku, memenuhi permintaannya untuk tidak berdebar dengan hebatnya. Namun lagi-lagi Aku tak berdaya, Aku tak memiliki kuasa. Alhasil, Aku hanya bisa pasrah menerima takdir yang telah ditetapkan oleh yang paling berkuasa itu. Dan dengan sangat terpaksa, Aku harus mendengar cacian, omelan, bahkan umpatan-umpatan dari diriku selama ini.

Aku seperti terjebak di tengah pusaran angin, terombang-ambing tanpa bisa berbuat apa-apa. Bahkan Aku tak bisa memenuhi keinginanku sendiri, Aku tak sanggup mengendalikan kehendakku sendiri. Sial, jadi selama ini Aku benar-benar hanya terombang-ambing? Kehidupan ini seperti sebuah lelucon yang siap menertawakan siapa saja.

Diriku masih bertahan pada posisi yang sama, tampak diam tanpa pergerakan. Kepalanya masih ditundukkan, dengan kedua tangannya yang masih memeluk lutut. Sedangkan Aku juga masih bertahan di sini, berdiri seperti orang bodoh, melihat diriku yang tampak frustasi. Aku ingin berlari menghampirinya, ingin memeluknya, namun Aku tak bisa. Alhasil Aku hanya tetap berdiri sendiri, melihat diriku memeluk dirinya sendiri. Benar-benar malang.

Ah, Aku ingat. Aku memiliki sebuah ponsel teleportasi khusus untuk berkomunikasi dengan diriku. Dan Aku berniat menghubunginya sekarang, ingin menyampaikan satu hal penting. Aku pun langsung menekan nomor tujuan diriku dan panggilan terhubung.

“Halo?” sapanya kemudian, seraya mengangkat pelan kepala yang tertunduk tadi.

“Ini aku. Aku ingin melakukan perjalanan panjang yang selama ini aku impikan,” jawabku.

Dari balik jendela kamar itu, Aku melihat diriku tampak terkejut. Namun dia diam saja tanpa mengatakan sepatah kata pun.

“Sudah sejak lama aku ingin menghilang. Lenyap seperti asap. Namun aku tak bisa, sebab keadaan memaksaku untuk bertahan pada posisi yang semestinya. Takdir seakan mengarahkanku pada kondisi yang membuat kita menderita. Karena itulah aku menelepon, ada yang ingin aku sampaikan. Hari ini, aku memutuskan untuk pergi,” jelasku.

Namun tak ada respon apapun dari diriku. Dia masih tetap diam, dengan ponsel teleportasi khusus yang masih menempel di telinga kirinya. Aku jadi merasa serba salah. Aku takut membuat diriku semakin marah. Tapi Aku harus melakukannya, Aku harus mengatakan segalanya, tak boleh ada yang terpendam.

“Aku ingin pergi ke tempat yang jauh, sangat jauh. Pergi kemana saja, asalkan aku bisa berpisah darimu, dari orang-orang di sekitar yang terlanjur mengenal kita dan selalu terluka karenaku. Aku ingin hidup di suatu tempat yang tak seorang pun bisa mengenaliku, sehingga aku bisa menunjukkan diriku yang sesungguhnya, apa adanya. Nantinya, aku akan melakukan apapun yang ingin aku lakukan, mengatakan hal apapun yang ingin aku katakan. Dan kupikir inilah saat yang tepat bagiku untuk pergi. Selamat tinggal.”

Panggilan kuakhiri. Kurasa diriku tetap akan diam sampai waktu yang tak bisa Aku prediksi. Biar saja. Aku tahu diriku sedang marah sekarang dan Aku tak ingin mengganggunya terlalu lama. Setidaknya Aku sudah mengatakan apa yang Aku ingin katakan pada diriku. Entah bagaimana responnya nanti, Aku tak lagi peduli.

Aku hanya tak ingin membuatnya merasakan sakit lebih lama dan memendam kebencian padaku terlalu dalam. Bukankah Aku dan diriku adalah satu kesatuan? Diciptakan sama-sama tak selalu harus bersama. Menjauh, adalah caraku untuk menjaga diriku agar bisa menjalani kehidupannya dengan baik.

Sebelum pergi, Aku sempat menyaksikan diriku melihat ke arahku. Tersenyum lebar dan sesaat kemudian melambaikan tangan. Senyumannya tampak begitu tulus, senyum yang sama sekali belum pernah kulihat sebelumnya. Aku pun membalas senyuman dan lambaian tangannya itu, sebelum pada akhirnya melangkah berlalu.

***

Satu jam telah berlalu. Aku yang baru saja tersadar dari tidur singkatku, merasa sedikit gelagapan. Bagaimana mungkin Aku bisa kecolongan.

Aku ingat. Selagi sabar menunggu bagaimana responnya setelah kuancam tadi, tanpa sadar Aku tertidur sebentar. Kemarahanku berujung pada rasa kantuk yang tidak tertahankan. Kelopak mataku bergerak mengatup begitu saja. Seperti ada lem yang dioleskan dengan sentuhan lembut. Hingga akhirnya Aku dibuat tak sadarkan diri.

Setelah kembali tersadar, Aku mencoba menyesuaikan pandangan mataku dengan keadaan ruangan sekitar. Berusaha membuat tubuhku terjaga sepenuhnya. Aku sedikit menggeliat dan mencoba menyentuh dada kiriku, memeriksa jantungku yang tadi berdegup-degup itu.

Deg!

Ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang belum pernah Aku rasakan sebelumnya. Aku tidak merasakan apa pun. Dia tenang. Seperti sedang tertidur pulas. Tidak lagi mengeluarkan bunyi yang berdegup-degup seperti sebelumnya. Tidak ada gerakan menekan-nekan dadaku seperti tadi.

Aku sangat senang. Tak henti-hentinya Aku tersenyum lebar. Akhirnya dia mau berhenti juga, pikirku. Setelah satu jam berlalu, barulah dia menuruti ucapanku. Kesabaranku terbayarkan sudah. Aku merasa lega sekarang. Kupikir Aku perlu memberinya apresiasi setinggi-tingginya.

“Ada yang meninggal.”

“Tolong! Ada yang meninggal.”

Tiba-tiba Aku mendengar teriakan lantang seseorang. Aku sempat terkejut. Namun kali ini, jantungku cukup tenang. Tak ada respon yang berarti darinya. Tidak seperti biasanya yang sering berdegup kencang.

Aku pun acuh terhadap teriakan-teriakan yang tak berarti apa pun itu. Entah siapa yang berteriak, entah apa yang diteriakkan, entah kepada siapa teriakan itu ditujukan, Aku benar-benar tidak peduli. Yang Aku pedulikan saat ini hanyalah keadaan yang membuatku sangat bahagia.

Aku merasa lega. Karena pada akhirnya dia benar-benar menuruti perkataanku. Seperti seekor piaraan yang patuh pada majikannya. Kupikir dia mulai jinak sekarang, sehingga lebih mudah bagiku untuk mengaturnya. Dia mulai belajar untuk menjadi anak anjing yang menurut pada tuannya.

“Anak baik, tetaplah tenang. Jangan berdegup kencang lagi! Jangan mendesak keluar dadaku lagi! Tetaplah tenang seperti ini! Kau benar-benar anak baik, sekarang.”

Aku memujinya dengan perasaan bangga. Kuharap hal itu bisa membuatnya bahagia dan juga bangga pada dirinya sendiri. Seperti Aku yang juga bangga padanya saat ini.

Kucoba menggerakkan tanganku untuk menyentuh dada sebelah kiri. Memeriksa keadaan jantungku sekali lagi. Aku pun kembali tersenyum. Dia masih tenang. Sangat tenang. Dan semuanya terasa hening. Tanganku juga mulai dingin. Aku merasakan tubuhku diterpa oleh angin kesejukan. Namun Aku sangat bahagia. Sungguh, kebahagiaan yang tiada terkira.

“Anak baik, akhirnya kamu mau menuruti perkataanku kali ini. Kamu adalah satu-satunya keberuntungan yang aku miliki saat ini.”

Tiada habis Aku memujinya dengan kata-kata manis. Aku sungguh berharap dia tidak hanya menurut untuk kali ini saja, melainkan untuk hari-hari esok dan seterusnya. Aku benar-benar berharap demikian. Rasanya akan sangat menyenangkan saat apa yang kau harapkan bisa kau dapatkan. Perasaan yang tak akan bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata.

Karena sangat senang, Aku kembali merasa mengantuk. Sudah beberapa kali Aku menguap. Aku mencoba menahannya tadi, namun sekarang sudah tak sanggup lagi. Kusentuh sekali lagi dadaku, memastikan satu hal untuk terakhir kalinya. Dia masih tenang. Sangat tenang. Aku pun tersenyum senang. Mataku perlahan terpejam.

Baca Juga: Tawakal Cinta

 

BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button