CerpenSastra

Bagian Dari Mereka

“Hana, mana Hani? Aku tak melihatnya dari tadi. Dia sekolah kan?” Icha menyusul langkahku yang bergegas masuk ke halaman sekolah karena pintu gerbang sudah akan ditutup. Jam istirahat sebentar lagi selesai.

“Entahlah, mungkin di lab bahasa. Aku masuk kelas ya, sampai ketemu nanti”. Hhhh.. rasa pegal menyelimuti seluruh persendianku. Darimana datangnya semua rasa sakit dan pegal ini? Terutama sakit kepala yang sedari tadi aku rasakan. Sangat menyakitkan. Rasanya kepalaku mau pecah.

Aku membaringkan kepalaku di meja dan memejamkan mata berharap sakit kepala dan seluruh pegal di badanku bisa hilang jika aku menutup mataku sebentar saja. Toh ibu guru belum masuk kelas juga.

Suara bel tanda jam pelajaran dimulai yang nyaring membangunkanku. Rupanya aku tertidur cukup lama. Gelagapan aku membenarkan posisi duduk dan rambutku yang berantakan, sambil sedikit menunduk berharap bu Ratih tak melihatku yang sejak tadi tertidur. Syukurlah bu Ratih tak menyadarinya.

Aku mengeluarkan buku kimia dari dalam tas dan mulai mengikuti pelajaran. Sesekali bu Ratih melihatku sambil tertegun sejenak kemudian melanjutkan mengajar. Tak seperti biasanya beberapa kali tertangkap olehku mata bu Ratih yang kosong saat melihatku seolah aku tak ada disini.

“Silvia, coba kamu kerjakan soal no 2. Dan kamu, Arto, soal no 3”.

“Ah, sial. Kenapa harus aku sih… gerutu Arto dengan suara yang hampir tak terdengar. Aku tersenyum. Arto adalah sahabatku. Dia memang paling membenci pelajaran Kimia.

Selain karena tidak suka dengan gurunya, dia juga tak menyukai semua hal yang ada hubungannya dengan kimia, entah itu bahan praktek kimia, obat kimia, maupun reaksi kimia, katanya.

Alasan yang membuatku selalu ingin tertawa. Padahal, dia hanya tidak suka jika namanya yang dipanggil oleh guru manapun untuk mengerjakan soal apapun, pelajaran apapun di papan tulis. Hehehe, ciri khas anak cowok bandel disekolah ya begitu.

Beberapa menit di depan kelas, Arto belum juga bisa menyelesaikan jawaban dari soal yang diberikan sementara Silvia sudah duduk manis duluan sejak tadi meninggalkan Arto yang masih menggaruk kepala yang tak gatal tanda tak sanggup mengerjakan.

Aku memperhatikan tingkahnya dan berusaha untuk memberikan bisikan maut jawaban soal. Tapi karena bu Ratih selalu menoleh ke arahku, aku jadi tidak berani membantu Arto.

“Sudah, sana duduk! Kamu selalu begitu, Arto. Kalau bukan karena Hana yang selalu menolongmu mengerjakan tugas, ibu gak tau kamu ini mau ibu berikan nilai berapa untuk pelajaran ini. Arto melangkah kembali ke tempat duduknya sembari ku dengar dia berucap lirih, “Kenapa kau tidak membantuku kali ini, Hana..”

Aku menoleh ke belakang sambil tersenyum dan berkata “Iya, maaf. Nanti pulang sekolah kita belajar bersama, ya”. Arto tak melihatku, dia hanya menunduk lesu.

Aku kembali memperhatikan pelajaran. Bel berbunyi, jam pelajaran selesai. Aku bersiap pulang. Ku lihat Arto berjalan bersama anak laki-laki lainnya keluar kelas. Belum sempat aku memanggilnya, Arto sudah menghilang dari pandangan.

Aku menyusuri kelas 12 IPA 2 mencari Icha. Sedikit kesal karena Arto sama sekali tak peduli padaku. Apakah dia marah karena aku tak membantunya menjawab soal tadi? Ah, tak mengapa, besok pasti sudah normal kembali.

Icha baru keluar kelas dan langsung menarik tangan ku sambil bercerita tentang anak cowok pindahan baru dikelasnya.

“Ganteng banget dan cool, Hana. Dia pasti anak orang kaya. Oh senangnya, dikelasku ada seorang lelaki pujaan. Oppa…” Icha terus berkicau tentang anak baru itu.

Tiba-tiba dia berhenti dan menatap tajam ke arahku. “Hana, kau sudah mengenalnya duluan, ya! Dasar curang! Cowok seganteng itu tak kau kenalkan padaku!” Icha mendengus keras dan memicingkan matanya yang sudah sipit itu jadi kelihatan tambah hilang.

“Kami sudah lama bertetangga waktu di Jogya dulu. Tapi aku tak terlalu dekat dengannya, Hani yang sering sekali bermain bersama Reyhan. Dia sering mengira kalau Hani adalah aku. Entah mengapa sejak dulu Reyhan selalu bertanya yang mana Hana karena kami begitu identik sehingga tak pernah ada orang yang bisa mengenali yang mana Hana dan Hani diantara kami berdua.

Apalagi mama sering membeli baju yang sama. Jika bukan karena gaya dan penampilan kami yang sekarang, orang pasti akan sangat susah membedakan kami”.

“Yah, kalian begitu mirip. Benar-benar sulit dibedakan. Tak pula ada semacam tanda seperti tahi lalat atau bekas lahir di tubuh kalian. Biasanya anak kembar yang lain mempunyai tanda semacam itu. Tapi disekolah kalian terlihat berbeda meski kalian mempunyai wajah yang sama. Hani anak yang tomboy dan kau begitu anggun, Hana.

“Cha, apa kau lihat?! Orang-orang sedari tadi melewati kita tanpa mempedulikan kita. Kamu sadar gak, ada yang aneh…?” Icha melihat sekeliling. “Ya iya donk, Hana.. hari sedang hujan. Mereka sibuk mempedulikan diri supaya gak kehujanan. Gak ada yang aneh, koq. Kamu ada-ada aja. Yuk ah, pulang. Itu pak Slamet sudah nunggu.”

Hari ini aku bangun kesiangan. Mama tak membangunkanku. Ah.. kemarin hingga malam aku terlalu banyak mengalami hal aneh dirumah ini sehingga jam tidurku terganggu.

Aku berniat menceritakan pada mama apa yang aku alami kemarin tapi nanti saja setelah pulang dari sekolah. Aku lompat dari tempat tidur dan mandi. Setelah memakai seragam, kulihat Hani sudah selesai sarapan dan bergegas pergi. Sempat sebelum keluar dari pintu, Hani menoleh ke arahku sambil tersenyum kemudian berlalu.

“Ma, aku makan dijalan aja ya, sudah terlambat. Aku pergi ya, ma. Assalamu’alaikum.” Sepertinya mama tak mendengarku. Mama sedang sibuk dengan cucian piringnya.

Icha sudah menungguku di pintu gerbang. Apa hari ini mau hujan lagi? Cuaca sangat mendung. Beberapa siswa perempuan berjalan melewati kami.

Seragam mereka sudah lusuh, rambut dan sepatu mereka juga sepertinya lama tak dibersihkan. Aku merasa agak aneh menemukan siswa yang berseragam lusuh disekolah ini. Jumlahnya bahkan lebih banyak di ruang laboratorium. Dan wajah-wajah mereka juga tak semuanya ku kenal.

Ada beberapa siswa laki-laki yang aku pernah mengenalnya beberapa tahun lalu. Bukankah dia harusnya sudah lulus? Atau dia tidak naik kelas? Eh, tapi, anak itu kan sudah meninggal… Hiiyyy.. aku bergidik.

“Hei, Hana! Kamu gak dengar aku ngomong dari tadi, ya! Icha menarik tanganku sedikit keras karena sejak tadi dia berbicara aku tak memperhatikannya dan malah sibuk sendiri dengan semua penglihatanku pada sekeliling sekolah yang membuatku bergidik merinding.

“Eh, iya. Itu.. aku cuma..” belum selesai aku berbicara, Icha menunjuk ruang kesenian. Ada anak perempuan yang memainkan gitar sendirian diruangan itu. Sekilas aku mengenal wajahnya yang tak asing, tapi aku lupa dimana pernah melihatnya.

Memang benar ada yang aneh disekolah ini. Aku merasakannya sejak kemarin. Aku begitu penasaran ada apa dan kenapa dengan semua ini.

Tiba-tiba, semua orang berlari ke halaman belakang. Semua siswa, bahkan guru dan kepala sekolah ikut berlari kesana. Ada apa disana? Mengapa begitu menarik perhatian seisi sekolah ini? Mana icha? Bukankah sejak tadi dia bersamaku? Apa dia juga ikut ke halaman belakang?

Aku berjalan mengikuti semua orang ke halaman belakang tempat gedung lab bahasa berada. Kerumunan orang yang sudah menutupi pandangan membuatku sulit melihat ada kejadian apa disana.

Mataku tertuju pada sosok anak perempuan dilantai tiga lab bahasa yang berdiri tepat disebelah pintu darurat yang sudah terbuka.

Hani! Itu Hani! Mengapa dia ada disana? Apa yang dia lakukan?! Aku meringsak masuk ke dalam kerumunan dan berusaha melihat apa yang sedang dilihat orang-orang ini.

Bruk! Aku menabrak tubuh Icha yang mematung. Matanya memancarkan kesedihan dan air mata mengalir di pipinya.

“Cha, kamu kenapa?! Aku menggoyang-goyangkan tubuh Icha yang terus menangis sambil menyebut nama Hani berulang-ulang.

Icha berpaling ke arahku, kemudian menunjuk dua orang siswa yang tergeletak di tanah dengan kepala yang hampir pecah dan darah segar yang mengalir dari kedua orang itu. Aku penasaran melihat wajah mereka. Perlahan aku berjalan mendekat dan melihat wajah keduanya.

Rasa copot jantung di dada ini dan kakiku tiba-tiba lemas. Aku terduduk sambil berteriak sekeras-kerasnya. Petugas kesehatan dan polisi datang untuk mengambil jasad dua orang siswa yang tewas terjatuh dari lantai tiga gedung lab bahasa.

Tubuh mereka yang masih memakai seragam diangkut dengan tandu menuju ke mobil ambulance. Seakan tak percaya ketika melewati kerumunan orang, aku ikut berjalan mengikuti tandu dan membaca nama pada seragam sekolah mereka. Tertulis: Arisya Putri Hanafiah dan Anastasia Citra.

Aku baru menyadari bahwa cuma Icha yang bisa berinteraksi denganku sejak kemarin itu karena aku dan icha sudah meninggal. Pantas saja selama ini aku bisa melihat semua hal aneh disekolah dan rumahku.

Tiba-tiba aku ingat semua teman-temanku yang sudah pergi dari dunia ini. Melihat mereka yang sudah mati beberapa tahun lalu disekolah ini dengan berbagai rupa.

Juga melihat banyaknya siswa lainnya yang tak aku kenal yang sudah meninggal entah sejak tahun berapa disekolah ini.. Aku bisa melihat semuanya.. Yah, aku bisa melihat semua makhluk menakutkan itu karena aku sudah jadi bagian dari mereka…

Baca Juga: Amazing Sarah and Her Little Things

 

BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button