News

Alami Mimpi Buruk, Manchester City Kalah 3 Kali Berturut-turut

Ketika rival sekotanya sedang berusaha tersadar dari era terburuknya, Manchester City justru tampaknya baru saja memulainya. Klub besutan Pep Guardiola itu tumbang melawan Bournemouth dalam lanjutan game week ke-10 Premier League. Kekalahan ini seakan menjadi rangkaian mimpi buruk paling buruk yang sedari awal memang sudah menunjukkan tanda-tandanya.

Man City baru saja tumbang melawan Sporting CP di ajang Liga Champions. Kekalahan ini merupakan kekalahan yang ketiga buat City secara beruntun. Tentu saja, kekalahan ini menjadi sebuah awal dari mimpi buruk. Sebuah mimpi buruk yang mungkin saja menuntun City pada akhir dinasti kepemimpinan Pep Guardiola.

Cedera, ketergantungan pada sosok tertentu pada akhirnya menjadi momok menakutkan buat Pep Guardiola. Kekalahan melawan Bournemouth adalah gerbang masuk City ke dalam mimpi buruk yang barangkali belum pernah mereka alami. Lantas, bagaimana City bisa terjerembab pada masalah mereka musim ini?

Ketergantungan Sosok

Pelatih adalah orang yang paling bertanggungjawab terhadap perubahan performa sebuah tim. Dalam hal ini, Pep Guardiola juga demikian. Banyak yang beranggapan bahwa Pep adalah pelatih yang sempurna, berkaca dari berbagai gelar yang telah ia menangi. Namun, Pep juga manusia yang tak luput dari kesalahan.

Mempertahankan sebuah gelar, apalagi kalau tarafnya selevel EPL, sampai empat musim beruntun jelas bukan perkara mudah. Namun, perkara yang lebih sulit pastinya adalah mempertahankan status sebagai juara dalam lima musim beruntun. Pep pada akhirnya merasakan kesulitan itu, walau bisa dibilang, kesulitan ini lahir dari perubahan pola pikirnya sendiri.

Empat musim terakhir, Pep dikenal sebagai seorang pionir taktik sepakbola, khususnya EPL. Fleksibilitas permainannya menjadi kunci utama City menguasai kasta tertinggi Inggris selama empat musim beruntun. Sayangnya, fleksibilitas itu agak berkurang, seiring pola permainan Pep yang tampaknya mulai ketergantungan pada satu atau dua pemain.

Hadirnya Erling Haaland di sektor depan Manchester City, agaknya telah mengubah banyak wajah tim ini. Begitupula dengan hadirnya Rodri di sektor gelandang jangkar. Walau Pep sebelumnya selalu bisa mencari cara menggantikan seorang pemain, ketika pemain itu sedang tidak perform, musim ini, juru taktik Spanyol itu tidak bisa mencari pengganti Haaland dan Rodri.

Absennya Rodri di sektor tengah meninggalkan lubang yang begitu menganga buat Manchester City. Lubang ini sering dieksploitasi lawan untuk mencuri gol-gol penting. Di sisi lain, lawan juga tahu kalau mematikan Haaland adalah kunci. Minimnya pergerakan striker Norwegia pada akhirnya kerap membuat Manchester Biru mengalami kebuntuan, walaupun yang mereka hadapi adalah tim dengan kualitas jauh di bawah mereka.

Baca Juga:

Jadwal Padat dan Badai Cedera

Setidaknya dalam dua musim ke belakang, Pep Guardiola dan Jurgen Klopp menjadi dua orang yang paling getol menyuarakan kritik terhadap padatnya jadwal kompetisi Eropa yang harus dijalani timnya. Sekarang, Klopp telah pergi meninggalkan kursi jabatannya di Liverpool yang kini diambil alih Arne Slot. Kepergian Klopp meninggalkan Pep seorang diri, sebagai pengkritik paling rajin menyuarakan aspirasinya perihal jadwal padat di ajang Eropa.

Bulan Juli kemarin, Pep sempat berkelakar bahwa jadwal padat tim-tim Eropa bisa membuat para pemain mati. Candaan itu terbukti benar. Pemain-pemain Manchester City satu-persatu mulai bertumbangan. Bayangkan saja, City beberapa waktu ke belakang, harus menghadapi jadwal padat dengan berbekal hanya 13 orang pemainnya yang fit.

Akibatnya, Pep menjadi kesulitan melakukan rotasi demi menjaga kebugaran sisa skuadnya yang masih bugar. Tidak ada cara lain selain memainkan pemain-pemain akademi, bahkan untuk laga besar sekalipun. Sebagai contoh, ada Jahmai Simpson-Pusey yang dipercaya mengawal lini belakang City di laga kontra Sporting, berduet dengan Manuel Akanji.

Rico Lewis menjadi nama bintang akademi lain yang kerap mendapat kepercayaan di bawah asuhan Pep. Pemain berusia 19 tahun ini kembali mendapat kepercayaan dari Pep untuk menggantikan Kyle Walker yang cedera dalam laga kontra Sporting. Pep mengaku terkesan dengan penampilan Lewis yang begitu mobile dan bisa bermain di mana saja.

Memainkan pemain-pemain akademi memang bukan sesuatu yang salah. Justru, strategi seperti ini adalah hal yang bagus untuk pengembangan sebuah klub. Namun, memainkan pemain-pemain akademi di laga-laga besar adalah sesuatu yang riskan. Tapi, cara ini tampaknya menjadi satu-satunya cara yang bisa dilakukan Pep menyusul rentetan badai cedera yang menghampiri skuadnya.

Perubahan Sepak Bola Modern

Pep Guardiola adalah pelatih yang terobsesi dengan kontrol. Beberapa musim ke belakang, kontrol mungkin akan membawa sebuah klub berjaya di berbagai kompetisi. Namun, seiring perkembangan sepak bola modern, kontrol bukan lagi menjadi sesuatu yang penting. Banyak pelatih modern membuktikan, kalau gaya permainan yang lebih direct alias langsung adalah gaya main yang lebih efektif dibanding gaya permainan mengontrol.

Ambil contoh Liverpool asuhan Arne Slot. Tim yang satu ini adalah contoh nyata bagaimana strategi direct alias langsung adalah strategi yang paling efektif dalam sepakbola modern. Serangan cepat mematikan ala Slot yang diinisiasi Mohamed Salah dan kolega membuat Liverpool menjadi tim yang sulit ditaklukkan musim ini.

Hansi Flick di Barcelona adalah contoh lain bagaimana taktik direct alias langsung lebih efektif dalam sepakbola modern. Kendati kedatangan Flick mengubah identitas Barca yang sohor dengan tiki-taka, Flick membuat Barca kembali naik kelas. Gaya direct yang ia usung bahkan membuat Barcelona musim ini lebih mengerikan, lewat statistik 55 gol hanya dalam 16 pertandingan.

Kemudian, laga kontra Sporting kembali menggarisbawahi bahwa sepakbola tidak melulu soal kontrol. City yang mendominasi laga nyatanya malah tumbang di tangan Sporting yang bermain begitu efektif. Ruben Amorim yang musim depan bakal membesut Manchester United bahkan mampu membuat City terjengkang dengan kekalahan mencolok, empat gol berbalas satu.

Delapan tahun membesut Manchester City, Pep telah banyak beradaptasi dengan gaya mainnya. Tanpa meninggalkan tiki-taka yang jadi identitas, Pep berhasil mengombinasikan operan-operan ciamik ala tiki-taka dengan permainan yang lebih direct. Namun sekarang, Pep ditantang memainkan sepakbola yang lebih direct lagi, supaya bisa bersaing dengan tim-tim seperti Liverpool, Barcelona, atau bahkan dengan pelatih seperti Ruben Amorim yang sebentar lagi akan membesut MU.

Baca Juga:

Tantangan Paling Berat Pep Guardiola

Seperti yang telah dibahas, mempertahankan adalah sesuatu yang lebih berat ketimbang mendapatkan. Inilah yang akan dihadapi Pep Guardiola di musim 2024/2025. Memenangkan liga untuk kali kelima secara beruntun memang bukan sesuatu yang mustahil. Namun, kemenangan itu pasti akan didapat dengan lebih sulit, jika melihat bagaimana ketatnya persaingan di era sepakbola modern.

Jadwal padat, pemain bertumbangan, Pep Guardiola sudah memprediksi bahwa ini akan terjadi pada Manchester City. Namun, bukannya sedih, mantan entrenador Barcelona justru semangat melihat apa yang terjadi pada klubnya. Menurut Pep, momen-momen seperti inilah yang bisa mengembalikkan semangat juangnya untuk menjadi yang terbaik di antara para rivalnya.

“Ini adalah tantangan yang berat. Tapi di sinilah saya. Ini akan menjadi musim yang sulit, kami tahu itu sejak awal. Tapi inilah yang terjadi. Saya menyukainya, saya mencintainya, saya ingin menghadapinya dan mengangkat mental pemain-pemain saya untuk bangkit lagi.” Papar Guardiola selepas laga kontra Sporting.

Selepas tiga kekalahan beruntun, sesuatu yang menurut Bernardo Silva tidak pernah dialami City dalam rentang tujuh musim ke belakang, memang, tidak ada cara lain selain bangkit buat Manchester City. Tiga kekalahan beruntun ini mungkin adalah mimpi buruk terburuk City. Tapi setiap mimpi buruk bisa diakhiri dengan bangun dan bangkit lagi.

Semua tergantung pada Pep sekarang. Musim 2024/2025 adalah musim terakhirnya membesut skuad Manchester Biru. Apabila memang keputusannya adalah pergi setelah musim berakhir, paling tidak, Pep ingin memberi perpisahan yang berkesan untuk publik Etihad, dan perpisahan berkesan itu bisa ia berikan dengan cara bangkit dari keterpurukan.

Beberapa pekan ke depan, Man City akan berhadapan dengan beberapa klub kuat. Liverpool, Tottenham, Brighton, Juventus dan Manchester United yang sudah akan ditangani Ruben Amorim adalah contohnya. Dengan misi bangkit dari hasil negatif, kira-kira apa kejutan yang akan diberikan Pep setelah ini? We’ll see!

Baca Juga: 5 Fakta Dibalik Keberhasilan Rodri Sebagai Pemenang Ballon d’Or 2024, Geser Dominasi Penyerang!

BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Related Articles

Back to top button