LifeRelationship

Ternyata Dia Begitu? 7 Culture Shock Yang Biasa Terjadi Pasca Pernikahan

Menikah? Memang indah rasanya. Apalagi dilandaskan dengan rasa cinta tulus antara pria dan wanita. Semua akan sangat indah.

Namun, pernahkah kamu membayangkan bahwa menyatukan dua orang dalam satu ikatan keluarga, bukan tanpa masalah. Dari dua individu yang terbiasa hidup dengan ‘aturan’ masing-masing, tiba-tiba kita harus menciptakan sebuah aturan yang berlaku untuk berdua.

Banyak dari pasangan yang baru menikah akan mengalami culture shock, yaitu perasaan di mana seseorang merasa tertekan serta terkejut ketika berhadapan dengan lingkungan dan budaya baru. Culture shock ini pasti akan dirasakan oleh setiap pasangan yang baru menikah.

Tapi jangan khawatir. Semua proses menyatukan dua kepala butuh, butuh adaptasi dan kesabaran. Berikut beberapa Culture shock yang biasa dirasakan oleh pengantin baru

1. Gaya hidup

Culture shock dalam pernikahan itu seringkali terjadi karena benturan gaya hidup. Pasangan yang terbiasa dengan gaya hidup masing-masing, seperti pola makan, waktu tidur, dan kebiasaan kecil lainnya, akan berbenturan dengan gaya hidup yang berbeda dari pasangannya

Perbedaan-perbedaan kecil ini, adalah tantangan awal yang menuntut pasangan untuk berkompromi dan menciptakan kebiasaan mereka sendiri.

Baca Juga:

2. Masalah keuangan

Setelah urusan sehari-hari, tantangan terbesar berikutnya adalah culture shock Keuangan. Uang seringkali menjadi sumber konflik dalam rumah tangga. Ada pasangan yang gemar belanja atau gemar menabung, tentunya akan berbenturan dengan kebiasaan pasangannya.

Pasangan bisa saja terdiri dari seorang ‘spender’ yang percaya bahwa hidup hanya sekali dan uang harus dinikmati, dan seorang ‘saver’ yang menganggap setiap pengeluaran sebagai keputusan investasi yang serius. Selain itu, ada perbedaan pandangan tentang transparansi finansial, utang, dan alokasi dana untuk kebutuhan pribadi versus bersama. Kunci untuk mengatasi ini adalah terus terang dalam soal keuangan, dan harus disepakati batas pengeluaran dan tujuan bersama.

3. Komunikasi

Selanjutnya, pernikahan mempertemukan dua gaya komunikasi yang berbeda, memicu masalah Komunikasi. Saat konflik muncul, satu pihak mungkin memilih untuk diam seribu bahasa berharap pasangannya mengerti, sementara yang lain mungkin perlu mengungkapkan segalanya dengan lantang untuk merasa didengarkan.

Bahkan dalam hal ungkapan cinta, benturannya bisa terjadi; bagi satu orang, cinta ditunjukkan melalui tindakan, sementara bagi yang lain, cinta harus diucapkan dengan kata-kata. Memahami bahasa cinta pasangan adalah kunci untuk menjaga kesehatan emosional rumah tangga.

4. Berbagi peran dalam keluarga

Selanjutnya, adalah tentang berbagi peran antar pasangan. Peran dan tanggung-jawab dalam rumah tangga bisa menjadi sumber pertengkaran, misalnya jika satu pihak terbiasa menjalankan tugas rumah seperti mengepel, cuci baju, dll tangga dibagi rata, sementara pasangannya dibesarkan di mana ada pembagian peran gender yang ketat.

Selain itu, seberapa besar keterlibatan keluarga besar dalam kehidupan sehari-hari (seperti panggilan telepon yang wajib diangkat atau ritual keluarga yang harus diikuti) sering kali menjadi ujian. Untuk melewati ini, pasangan harus terlebih dahulu membangun kesatuan tim mereka sendiri, berdiskusi, dan sepakat menetapkan batasan (boundaries) yang sehat terhadap intervensi dari luar.

5. Tingkat ketakwaan dalam ibadah

Walaupun memiliki agama yang sama, namun tingkat ketakwaan yang berbeda, bisa menjadi masalah yang serius. Misalnya, kamu ingin sang suami rajin salat di masjid, namun kenyataannya dia jarang ke masjid dan selalu salat di rumah. Atau sang suami sering mengkuti kajian di mana saja, mungkin ingin rutin mengikuti kegiatan keagamaan, sementara pasangannya merasa cukup dengan ibadah wajib saja.

Baca Juga:

6. Perbedaan pandangan

Perbedaan pandangan tentang isu-isu sosial, politik, atau bahkan cara bersikap terhadap lingkungan dan komunitas bisa memicu konflik besar, terutama jika nilai tersebut sangat dipegang teguh oleh salah satu pihak.

Seperti, salah satu pasangan sangat mengidolakan tokoh politik tertentu dari partai tertentu, bisa jadi akan terjadi debat terbuka antar pasangan.

7. Masa depan

Ini adalah perbedaan yang terjadi karena ekspektasi tentang masa depan yang ternyata tidak selaras. Salah satu pihak mungkin ingin memiliki banyak anak sesegera mungkin, sementara yang lain mungkin ingin menunda atau bahkan tidak ingin memiliki anak sama sekali. Jika belum dibicarakan mendalam sebelum menikah, ini bisa menjadi shock yang sangat serius.

Kamu ingin menetap di kota besar dekat orang tua, sementara pasanganmu ingin pindah ke daerah yang lebih tenang atau bahkan ke luar negeri. Benturan juga bisa terjadi ketika ambisi karir salah satu pihak, dianggap mengganggu kualitas waktu bersama oleh pihak lain.

Intinya, culture shock bukanlah kegagalan dalam menyatukan dua hati. Melainkan culture shock adalah fase adaptasi yang membutuhkan komunikasi, kesabaran, dan tentu saja ikhlas.

Baca Juga: Abnormal dan Waspada! 12 Tanda Pasangan Kamu Mungkin Selingkuh

Fransisca Dewi

Doyan traveling, dan kuliner

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button