Sejarah Kesultanan Mataram, Dari Pajang hingga Terpecah Antara Yogyakarta dan Surakarta


Sejarah Kesultanan Mataram

Kesultanan Mataram atau Kerajaan Mataram Islam berkuasa di tanah Jawa antara abad ke-16 hingga ke-18 M. Kerajaan yang berpusat di wilayah Jawa Tengah ini memiliki sejarah yang panjang dan kompleks.

Sejarah berdirinya Kesultanan Mataram

Pada awalnya, Kesultanan Mataram merupakan sebuah kadipaten yang diberikan Sultan Hadiwijaya dari Kesultanan Pajang pada tahun 1575 kepada seorang bangsawan Jawa yang bernama Panembahan Senopati.

Kesultanan Mataram ialah sebuah kerajaan Islam di Jawa yang diasaskan oleh Sutawijaya, keturunan Ki Ageng Pemanahan, yang mendapatkan hadiah sebidang tanah daripada Hadiwijaya, raja Pajang, atas jasanya. Kerajaan Mataram pada zaman kegemilangannya dapat menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura serta meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga sekarang, umpamanya wilayah Matraman di Jakarta dan sistem persawahan di Karawang.

Sutawijaya naik takhta dengan gelaran Panembahan Senopati selepas merebut wilayah Pajang pada kemangkatan Hadiwijaya. Pada saat itu, wilayahnya yang mewarisi wilayah Kerajaan Pajang hanya meliputi sekitar Jawa Tengah saat ini. Pusat pemerintahannya berada di Mentaok, wilayah yang terletak kira-kira di timur Kota Yogyakarta dan di selatan Lapangan Terbang Adisucipto kini. Lokasi kraton (tempat kedudukan raja) pada masa awal terletak di Banguntapan, dan kemudian dipindahkan ke Kotagede.

Selepas Sutawijaya mangkat (dimakamkan di Kotagede), kekuasaannya diteruskan sebentar oleh Mas Jolang, puteranya, yang mengambil gelaran Prabu Hanyokrowati. Pemerintahannya tidak wujud lama kerana baginda mangkat, akibat kemalangan semasa berburu di hutan Krapyak. Oleh itu, baginda juga digelar Susuhunan Seda Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak yang membawa pengertian Raja (yang) mangkat (di) Krapyak.

Selepas itu, takhta Mas Jolang diambil alih sebentar oleh Adipati Martoputro, putera keempat Mas Jolang. Adipati Martoputro ternyata menghidap penyakit saraf sehingga takhtanya diambil alih oleh Mas Rangsang, putera sulung Mas Jolang.

Selepas naik takhta, Mas Rangsang mengambil gelaran Sultan Agung Hanyokrokusumo tetapi lebih dikenali dengan gelaran Sultan Agung. Pada masa ini, wilayah Mataram mencakupi kawasan sehingga ke pulau Jawa dan Madura. Akibatnya terjadi perselisihan dengan Syarikat Hindia Timur Belanda (SHTB) yang berpusat di Batavia. Maka terjadilah beberapa peperangan antara Mataram dengan SHTB.

Selepas Mas Rangsang mangkat (dimakamkan di Imogiri), baginda diwarisi oleh puteranya yang bergelar Amangkurat (Amangkurat I, Sunan Tegalarum). Lokasi kraton Mataram pada masa ini dipindahkan ke Pleret (sekarang termasuk wilayah Kabupaten Bantul).

Baca Juga:

Masa Kejayaan Kesultanan Mataram

Kejayaan Kesultanan Mataram Kerajaan Mataram Islam mencapai puncak kejayaannya selama masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645). Salah satu pencapaian terbesar Sultan Agung adalah ekspansi wilayah kesultanan. Sultan Agung berhasil menguasai banyak wilayah di Pulau Jawa, termasuk Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat.

Ekspansi wilayah ini membuat Kesultanan Mataram menjadi salah satu kekuatan dominan di Nusantara pada masanya. Pada masa itu juga terjadi pemindahan ibu kota Kesultanan Mataram dari Kota Gede ke Kartasura, yang kemudian menjadi pusat pemerintahan yang penting.

Selain itu, Sultan Agung yang dikenal sebagai pemimpin militer yang ulung sempat beberapa kali menaklukkan pasukan Belanda, seperti Pertempuran Gresik (1619) dan Pertempuran Plered (1625)

Pemerintahan Sultan Agung juga berhasil membuat Kesultanan Mataram juga mencapai kejayaan dalam bidang seni dan budaya dengan mendukung pengembangan seni pertunjukan seperti wayang kulit dan wayang orang.

Terpecahnya Kesultanan Mataram

Meskipun Sultan Agung adalah salah satu penguasa paling kuat dalam sejarah Kesultanan Mataram, kejayaan ini tidak berlangsung lama.

Mataram Islam runtuh dimulai dari kekalahan Sultan Agung dalam merebut Batavia. Akibat kekalahan tersebut, perekonomian Mataram Islam semakin melemah karena banyak penduduk Mataram Islam dikerahkan untuk keperluan perang. Setelah Sultan Agung wafat, ditunjuklah Susuhunan Amangkurat I, putra Sultan Agung yang kemudian menjabat raja Mataram Islam. Keraton Mataram Islam kemudian dipindahkan ke Plered.

Pemerintahan Amangkurat kurang stabil kerana banyak ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada masanya, pemberontakan besar yang dipimpin oleh Terunajaya berlaku dan memaksa Amangkurat supaya bersekutu dengan Syarikat Hindia Timur Belanda (SHTB). Baginda mangkat di Tegalarum ketika berundur.

Setelah Amangkurat I wafat, ditunjuklah Amangkurat II yang pada saat itu mengalami kemunduran akibat pengaruh VOC. Pewarisnya, Amangkurat II, betul-betul mematuhi SHTB sehingga kerabat istana banyak yang tidak puas dan pemberontakan terus terjadi.

Baca Juga:

Sepeninggal Amangkurat II, campur tangan VOC mengakibatkan perang antara Paku Buwono I melawan Amangkurat III. Kemenangan Paku Buwono I membuat wilayah Mataram Islam terpecah dan mulailah era dinasti Pakubuwono di Mataram. Atas pengaruh Belanda, Mataram Islam terjadi konflik internal hingga puncaknya terjadi Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 yang membagi Mataram menjadi dua bagian yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta.

Perpecahan ini mengakhiri masa kejayaan Mataram Islam sebagai sebuah kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian, sebagian masyarakat Jawa masih beranggapan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah “pewaris” Kesultanan Mataram.

Baca Juga: 5 Kerajaan Islam di Nusantara, Awal Penyebaran Agama Islam di Indonesia