Membedah Makna Perayaan Sekaten di Kraton Yogyakarta, Antara Mistis, Ritual, Hingga Bidah!


Perayaan Sekaten

Di Jogjakarta ada sebuah budaya yang hingga saat ini masih terus dilestarikan yaitu Sekaten yang diselenggarakan untuk memperingati lahirnya Nabi Muhammad SAW yang lahir pada tanggal 12 bulan Maulud, bulan ketiga dari tahun jawa.

Sekaten merupakan upacara pendahuluan dari peringatan hari kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW. Diselenggarakan pada tanggal 5 hingga tanggal 12 dari bulan yang sama. Selain di Keraton Jogjakarta juga diselenggarakan di Keraton Surakarta.

Perayaan sekaten di antaranya meliputi “Sekaten Sepisan” yakni dibunyikannya dua perangkat gamelan Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu, kemudian pemberian sedekah `Ngarso Dalem` Sri Sultan HB X berupa `udhik-udhik` (menyebar uang) dan kemudian diangkatnya kedua gamelan menuju Masjid Agung Jogjakarta dan ditutup dengan Grebeg.

Asal-usul perayaan Sekaten

Pada tahun 1939 Caka atau 1477 Masehi, Raden Patah selaku Adipati Kabupaten Demak Bintara dengan dukungan para wali membangun Masjid Demak. Selanjutnya berdasar hasil musyawarah para wali, digelarlah kegiatan syiar Islam secara terus-menerus selama 7 hari menjelang hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Pada masa-masa permulaan perkembangan agama Islam di Jawa, salah seorang dari Wali Songo, yaitu Sunan Kalijogo, mempergunakan instrumen musik Jawa Gamelan, sebagai sarana untuk memikat masyarakat luas agar datang untuk menikmati pergelaran karawitannya. Untuk tujuan itu dipergunakan 2 perangkat gamelan, yang memiliki laras swara yang merdu yaitu Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu.

Setelah mengikuti kegiatan tersebut, masyarakat yang ingin memeluk agama Islam dituntun untuk mengucapkan dua kalimat syahadat (syahadatain). Dari kata Syahadatain itulah kemudian muncul istilah Sekaten sebagai akibat perubahan pengucapan. Sekaten terus berkembang dan diadakan secara rutin tiap tahun seiring berkembangnya Kerajaan Demak menjadi Kerajaan Islam.

Demikian pula pada saat bergesernya Kerajaan Islam ke Mataram serta ketika Kerajaan Islam Mataram terbagi dua (Kasultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta) Sekaten tetap digelar secara rutin tiap tahun sebagai warisan budaya Islam.

Baca Juga:

Puncak Acara Perayaan Sekaten

Ada tiga inti perayaan sekaten yang diadakan dari tahun ke tahun di Kesultanan Yogyakarta

  1. Dibunyikannya dua perangkat gamelan (Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu) di Kagungan Dalem Pagongan Masjid Agung Yogyakarta selama 7 hari berturut-turut, kecuali Kamis malam sampai Jumat siang.
  2. Peringatan hari lahir Nabi Besar Muhammad SAW pada tanggal 11 Mulud malam, bertempat di serambi Kagungan Dalem Masjid Agung, dengan Bacaan riwayat Nabi oleh Abdi Dalem Kasultanan, para kerabat, pejabat, dan rakyat.
  3. Pemberian sedekah Ngarsa Dalem Sampean Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan, berupa Hajad Dalem Gunungan dalam upacara Garebeg sebagai upacara puncak sekaten.

Pada tanggal 5 bulan Maulud, kedua perangkat gamelan, Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur madu, dikeluarkan dari tempat penyimpanannya dibangsal Sri Manganti, ke Bangsal Ponconiti yang terletak di Kemandungan Utara (Keben) dan pada sore harinya mulai dibunyikan di tempat ini.

Antara pukul 23.00 hingga pukul 24.00 ke dua perangkat gamelan tersebut dipindahkan kehalaman Masjid Agung Yogyakarta, dalam suatu iring-iringan abdi dalem jajar, disertai pengawal prajurit Keraton berseragam lengkap.

Puncak acara dari perayaan Sekaten adalah “grebeg maulid”, yaitu keluarnya sepasang gunungan dari Mesjid Agung seusai didoakan oleh ulama Kraton. Masyarakat percaya bahwa siapapun yang mendapatkan gunungan tersebut, biarpun sedikit akan dikaruniai kebahagiaan dan kemakmuran. Kemudian tumpeng tersebut diperebutkan oleh ribuan warga masyarakat. Mereka meyakini bahwa dengan mendapat bagian dari tumpeng akan mendatangkan berkah bagi mereka.

Makna perayaan sekaten bagi masyarakat Jawa

Gamelan Sekaten yang dibunyikan saat perayaan Sekaten, bagi masyarakat Jawa memiliki sarat makna. Bukan karena gamelannya bertuah atau semacamnya, tapi gamelan yang ditabuh ditujukan untuk menarik masyarakat agar berbondong-bondong datang ke Masjid Agung untuk beribadah, mengucapkan syahadat dan mendengarkan ceramah dari para ulama.

Pada umumnya, masyarakat Jogjakarta dan sekitarnya berkeyakinan bahwa dengan turut berpartisipasi merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW ini yang bersangkutan akan mendapat imbalan pahala dari Yang Maha Kuasa, dan dianugerahi awet muda.

Sebagai ‘Srono’ (syarat)nya, mereka harus mengunyah sirih di halaman Masjid Agung, terutama pada hari pertama dimulainya perayaan sekaten.

Oleh karenanya, selama diselenggarakan perayaan sekaten itu, banyak orang berjualan sirih dengan ramuannya, nasi gurih bersama lauk-pauknya di halaman Kemandungan,di Alun-alun Utara maupun di depan Masjid Agung Jogjakarta.

Dibalik tradisi nginang saat gamelan ditabuh atau dibunyikan ini sebenarnya sarat filosofi. Kelima bahan dalam racikan kinang merupakan kiasan dari lima rukun Islam. Jadi dengan mengunyah kinang diharapkan orang akan selalu ingat kepada Sang Khalik dan mengamalkan rukun Islam.

Bagi para petani, dalam kesempatan ini memohon pula agar panenannya yang akan datang berhasil. Untuk memperkuat tekadnya ini, mereka memberi cambuk (pecut) yang dibawanya pulang.

Baca Juga:

Walau banyak masyarakat yang menilai Perayaan Sekaten di Keraton Yogyakarta, penuh dengan unsur mitis dan juga bidah (perbuatan atau cara yang tidak pernah dikatakan atau dicontohkan Rasulullah atau sahabatnya), namun Perayaan Sekaten adalah budaya dan kearifan lokal masyarakat Yogyakarta.

Perayaan Sekaten merupakan warisan budaya bangsa yang mesti dilestarikan. Pemerintah, ulama, dan masyarakat perlu memikirkan kembali, bagaimana agar perayaan Sekaten dapat terus dilestarikan, namun tidak bertentangan dengan nilai-nilai islam yang murni.

Baca Juga: 4 Tradisi di Bengkulu yang Masuk Warisan Budaya Tak Benda


Emperor