Siapa yang sering salah kira bahwa kuliah di Psikologi bisa baca pikiran seseorang? Sampai-sampai banyak yang sering menghindari anak Psikologi karena takut dibaca pikirannya.
Pada faktanya, psikologi ini mempelajari ilmu tingkah laku dan kejiwaan seseorang yang didasari oleh faktor eksternal dan faktor internal. Biar makin kenal dengan ilmu psikologi, coba yuk, cari tahu lika-liku dalam dunia psikologi!
1. Psikologi tidak bisa membaca pikiran orang lain
Seringkali kita dengar bahwa seseorang yang berkuliah di jurusan psikologi dapat membaca pikiran seseorang. Faktanya tidak. Seseorang yang berkuliah ataupun senang dengan ilmu kejiwaan tidak sepenuhnya bisa membaca pikiran orang. Karena tidak ada teori-teori yang dapat membaca pikiran seseorang.
Dalam psikologi, tidak ada teori terkait dengan pengenalan dalam pikiran seseorang. Maka dari itu, banyak yang salah sangka bahwa anak psikologi bisa membaca pikiran, nyatanya tidak, karena mereka yang mempelajari ilmu psikologi tahu bagaimana membangun koneksi yang bagus dengan orang lain.
2. Ilmu Psikologi mempelajari tingkah laku seseorang
Selama mempelajari ilmu psikologi ini, tidak ada teori yang mempelajari “cara membaca pikiran seseorang”, hanya mempelajari ilmu mengenai teori-teori kepribadian, perkembangan serta bagaimana seseorang hidup di lingkungan sosial.
Jadi, di psikologi bukanlah ilmu yang mempelajari bagaimana kita bisa membaca pikiran seseorang melainkan mempelajari ilmu tingkah laku seseorang yang menyangkut dengan kejiwaannya.
Baca Juga: 5 Jenis Gangguan Cemas yang Jarang Diketahui
3. Di dalam psikologi terdapat pelajaran matematika
Yang bilang, di psikologi tidak mempelajari matematika itu salah besar. Di psikologi sendiri ada lho mata kuliah yang berurusan dengan angka yaitu statistika psikologi, psikometri, konstruksi alat ukur psikologi. Dalam mata kuliah statistika psikologi, kita diajarkan dengan pengenalan dan konsep dasar statistika psikologi, lalu yang kedua ada psikometri yaitu mata kuliah lanjutan yang mempelajari validitas dan reliabilitas dalam pengukuran kuesioner psikologi, mata kuliah ini dilanjutkan setelah mempelajari ilmu statistika psikologi, dan, yang terakhir ada konstruksi alat ukur psikologi, yang mempelajari ilmu dari statistika psikologi dan psikometri.
Dalam mata kuliah konstruksi alat ukur psikologi mempelajari bagaimana cara kita dalam membuat kuesioner yang bagus yang akan di uji validitas dan reliabilitasnya. Jadi ketiga mata kuliah tersebut saling berkaitan, karena belajarnya juga secara berurutan dari tingkatan dasar sampai dengan puncak dari ilmu psikologi sendiri.
Jadi, adik-adik yang kurang suka dengan angka jangan harap di psikologi tidak ada matematikanya, justru malah ada dan biasa digunakan dalam penghitungan data, pengukuran data, maupun pengukuran skala kuesioner.
4. Fakta atau mitos bahwa anak psikologi tidak pernah merasa down?
Siapa disini yang selalu beranggapan bahwa anak psikologi tidak pernah merasa down? Salah besar. Mahasiswa psikologi itu juga manusia bukan robot yang tidak mempunyai perasaan. Mereka sama seperti kita semua yang bisa merasakan emosi positif dan emosi negatif. Hanya saja cara meredakannya dengan cara yang berbeda-beda dengan dunia sekitarnya. Kita tidak tahu apa yang dialami oleh setiap orang dalam menjalani kehidupannya, karena mereka semua memiliki perjuangan dan progress yang tidak semua orang yang didekatnya mengetahui hal itu.
5. Anak psikologi juga butuh bantuan psikologis
Seringkali terjadi, anak psikologi kan juga manusia seperti manusia pada umumnya bukan robot. Tetapi, cara mereka memberikan saran ataupun masukan mungkin lebih bermakna dan berempatik terhadap seseorang yang bercerita dengan mereka. Bahkan terkadang, banyak anak psikologi yang lebih membutuhkan bantuan serupa, tetapi label “masa lo anak psikologi bisa stress sih?” ini yang membuat mereka jadi kurang empatik dan terbuka terhadap orang-orang yang seperti itu.
Manusia itu bersifat dinamis dan hidup bermasyarakat pasti pernah merasakan hal ini, selalu saja dilabeli “bisa baca pikiran” padahal kan, kita belum kenal dengan orangnya bagaimana, seperti apa, bagaimana dalam lingkungan sosial mereka? Apakah lebih banyak stigma negatif ataupun lingkungan yang tidak menganut budaya patriarki ini yang sudah melekat puluhan tahun lamanya.
Jadi, kesimpulannya, jangan pernah menganggap sepele urusan orang lain, karena kita sendiri tidak mengetahui apa yang terjadi di dalam hidupnya.
Baca Juga: 5 Sikap Menghadapi Eccedentesiast, Jangan Bersedih Terus ya!