Social & Culture

Tarian THR Mirip Dengan Tarian Yahudi, Antara FOMO dan Latah!

Viralnya tarian THR yang beredar di media sosial pada Idul Fitri 1446 Hijriah atau Lebaran 2025 menyulut perdebatan hangat di kalangan netizen, karena gerakan dalam tarian THR tersebut mirip dengan tarian Yahudi.

Video tarian ceria dengan iringan musik yang mudah diikuti ini viral di berbagai platform media sosial seperti TikTok. Yang menarik, bukan hanya anak muda yang ikut, tapi juga banyak orang dari berbagai kalangan, dari pejabat hingga ibu rumah tangga, berlomba-lomba membuat video joget mereka sendiri.

Fenomena ini lebih dari sekadar tren ringan. Joget THR mencerminkan bagaimana media sosial menjadi sarana untuk mengekspresikan kebahagiaan, sekaligus menunjukkan bahwa seseorang masih terhubung dengan momen perayaan bersama orang lain. Dalam konteks ini, media sosial bukan hanya untuk hiburan, tetapi juga untuk eksistensi diri dan pengakuan sosial.

Baca Juga:

Tarian THR mirip dengan tarian Yahudi

Banyak masyarakat yang menyebut bahwa tren joget THR sama dengan tarian Hora dari Yahudi. Sehingga, melarang dan bahkan mengharamkan untuk mengikuti tren tersebut.

Gerakan dalam tarian Hora, hampir sama persis dengan tarian THR yang sedang tren. Tarian Hora, yang dikenal sebagai tarian gembira khas Yahudi, biasanya dilakukan secara berkelompok membentuk lingkaran.

Tarian ini sering dipertunjukkan dalam berbagai perayaan dan acara komunitas Yahudi di seluruh dunia, menjadi simbol kegembiraan dan kebersamaan. Tarian Hora ini juga dimulai dengan gerakan kaki ke kanan dan ke kiri.

Kemudian, para peserta yang ikut dalam tarian akan melompat kecil ke depan dan ke belakang. Gerakan badan penari dalam tarian Hora, mirip dengan tarian THR yang sedang tren.

Selain itu, di Finlandia terdapat tarian serupa yaitu Jenkka. Tarian ini populer pada abad ke-19 dengan formasi peserta berbaris Letkajennkka yang muncul sekitar tahun 1960.

Baca Juga:

Masyarakat Indonesia tidak bisa lepas dari media sosial

Namun, ada tekanan sosial yang cukup besar di balik tren ini. Banyak yang merasa harus ikut serta karena takut ketinggalan atau dianggap tidak mengikuti perkembangan zaman. Fenomena ini juga diperburuk dengan adanya Fear of Missing Out (FOMO), di mana seseorang merasa gelisah jika tidak ikut tren yang sedang viral. Jadi, lebih dari sekadar kebahagiaan, joget THR sering kali menjadi cara untuk memastikan diri tetap relevan di mata publik.

Platform seperti TikTok pun memainkan peran besar dalam penyebaran fenomena ini. Algoritma yang mempromosikan konten viral membuat tren ini semakin meluas, mendorong orang untuk terus berpartisipasi. Di sisi lain, bagi kreator konten, viralitas juga menjadi peluang ekonomi dengan berbagai bentuk endorse dan monetisasi.

Namun, di balik keseruan joget THR, penting untuk bertanya apakah kita ikut serta karena benar-benar ingin merayakan kebahagiaan atau sekadar untuk terlihat tidak ketinggalan. Semoga kita tetap bisa menjaga makna sejati Lebaran, baik dalam kehidupan nyata maupun di dunia digital.

Baca Juga: Filosofi di Balik Tradisi Mudik Lebaran, Bukan Sekedar Back to Home


Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button