CerpenSastra

Senandung Lirih

‘Sayangku, abang baru bisa pulang jam delapan malam ini. Sayang gak papa di rumah sendirian jam segitu?’

Sebuah pesan masuk dari suamiku di aplikasi hijau mengabarkan bahwa dia akan telat pulang ke rumah malam ini. Padahal ini akhir pekan, tapi kerjaan suamiku malah sibuk di akhir pekan. Aku hanya bisa menghela nafas lesu.

Aku baru selesai sholat ashar dan hanya membaca pesan suamiku itu tanpa membalasnya. Setelah melipat mukena dan meletakkan sajadah, tak lama handphone milikku berdering. Suamiku menelepon. Mungkin dia tidak sabar menunggu balasan pesannya yang belum sempat kubalas.

“Iya gak papa, Bang. Adek tunggu, ya. Kalau Abang sudah pulang nanti tolong belikan jeruk atau mangga yang mudaan dikit ya, Bang. Adek pengen makan yang asem-asem, biar mualnya hilang.”

“Oke. Nanti abang belikan. Sabar ya, Sayang. Kalau sebelum jam delapan kerjaan sudah beres abang akan segera pulang. Kalau ada apa-apa segera kabari abang ya.”

“Tutup dan kunci semua pintu dan jendela, ya. Sholat maghrib jangan lupa. Kalau sudah selesai, tilawah Al-Quran, dan setelah selesai jangan lupa Al-Qurannya selalu dekatkan sama adek aja. Abang usahakan cepat pulang. Sabar ya, Sayang.”

Suamiku yang sudah paham dengan ‘kesensitivitasanku’ sejak awal mula kami menikah, selalu saja merasa cemas terhadapku sehingga ia banyak sekali memberikan pesan ketika aku sedang berada di rumah sendirian.

“Iya, Abang gak usah cemas. Cepat kerjakan kerjaan Abang supaya Abang bisa cepat pulang.”

Aku berusaha menenangkannya dengan berkata dengan nada biasa, padahal dalam hati ini sudah merasa takut jika harus berada di rumah sendirian malam ini. Apalagi hari sudah menjelang sore. Waktu terasa begitu cepat sekali berlalu.

“Oke, Sayang. Sampai nanti, ya.”

“Iya, Bang. Cepat pulang, ya.”

Kecemasan suamiku bukan tanpa alasan. Sejak awal mengandung anak pertama kami, ‘sensitivitas’ yang kumiliki jadi semakin kuat. Entah apa namanya aku tak bisa menjelaskan secara pasti karena aku tidak ingin hal itu mengganggu hidupku.

Sejak dulu aku memang bisa ‘merasakan’ kehadiran sesuatu yang tidak terlihat. Tapi itu hanya terjadi jika aku dalam kondisi tertentu, seperti saat ini.

Sejak hamil, aku selalu melihat dan merasakan hal aneh disekitarku dan hal itu tampak jelas sekali terlihat dibandingkan ketika aku masih remaja dan sebelum menikah.

Gambaran ‘mereka’ yang berbeda dunia terasa sangat nyata dan terlihat jelas di depan mata seolah mereka benar-benar ada di antara kita, berbaur dengan sekeliling di lingkungan kita.

Seperti yang terjadi beberapa hari ini dirumah ini. Rumah kami berada disebuah komplek perumahan sederhana. Kalau dilihat dari luar, rumah ini memang tampak manis dan minimalis.

Di sebelah kiri kanan depan belakang rumah kami sudah ada penghuninya dan terkadang suasana disekitar rumah masih terlihat ramai walaupun malam hari tiba.

Tapi, ketika aku pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini dua minggu yang lalu, aku merasa rumah ini gelap dan sesak. Entahlah aku tidak tau apa sebabnya.

Tapi karena suamiku sudah menempati rumah ini sejak jaman pacaran dulu, aku percaya saja padanya bahwa tidak ada apa-apa dirumah ini yang berhubungan dengan ‘hal-hal’ yang sering menggangguku.

Sebelumnya setelah menikah, aku dan suami masih tinggal bersama orang tuaku. Ibuku melarang aku segera pindah kerumah suami karena kata ibu pamali jika melepas anak yang baru menikah langsung kerumah barunya. Minimal tinggal bersama orang tua satu bulan baru kami dibolehkan pindah ke rumah kami sendiri.

Aku hamil anak pertama, usia kandunganku baru lima minggu dan lagi heboh-hebohnya dengan yang namanya morning sick dan kawan-kawannya yang sering menyerang sehingga membuat rasa yang sangat tidak nyaman sebulan belakangan ini.

Aku sedang menghangatkan sup ketika aku merasakan di sudut mataku ada sesuatu seperti sedang memperhatikanku. Aku menoleh, tidak ada apa-apa disana. Kulirik jam dinding pukul lima kurang lima menit. Ternyata hari sudah sore. Aku keluar mengambil jemuran pakaian yang sejak tadi selalu lupa aku angkat.

Di luar sudah sedikit gelap. Bukan karena mendung mau hujan, tetapi karena memang tak ada matahari lagi yang nampak sore ini.

Baca Juga: Angin Akhir Tahun

Ketika akan masuk ke pintu belakang, sejenak terdengar suara seseorang sedang bersenandung dengan lirih seperti sedang meninabobokkan anak kecil. Kucari sumber suara, sedikit berjinjit menengok kearah rumah tetangga yang pagar pembatasnya sedikit lebih tinggi dari badanku.

Tidak terlihat apa-apa disana. Rumahnya Mbak Ajeng terlihat tertutup karena mereka sedang pergi liburan. Aku segera masuk dan mematikan kompor, menutup semua pintu dan jendela, mencuci sedikit piring kotor dan memasukkan kembali pakaian kotor sesi kedua cucian pakaian di mesin cuci.

Tak lama adzan maghrib berbunyi. Setelah selesai menyetel pembilasan terakhir dan pengeringan, aku mengambil air wudhu di kamar mandi yang letaknya tak jauh dari mesin cuci.

Pintu kamar mandi kubiarkan tetap terbuka saat aku berwudhu. Dengan posisi badan menghadap ke pintu sambil berwudhu samar aku melihat sebuah bayangan melitas di depan mesin cuci.

Tilililiit

Mesin cuci berhenti. Aku kaget, menghentikan wudhu dan mengusap mukaku membersihkan air yang masih menetes berharap apa yang kulihat barusan hanya perasaan.

Jantungku berdebar. Sambil beristighfar, aku mencoba menghidupkan kembali mesin cuci yang berhenti. Sambil menoleh kekiri dan kanan seperti orang yang mau mencuri, aku kembali masuk kamar mandi mengulangi wudhu.

Tilililiitt

Mesin cuci berhenti lagi. Deg. Jantungku kembali berdebar. Kali ini aku mengucapkan istighfar dengan keras berusaha menenangkan diri dan bergegas meninggalkan kamar mandi tanpa memencet kembali tombol mesin cuci untuk melanjutkan cucian.

Sempat sebelum masuk kamar, aku kembali menoleh ke belakang beberapa detik menyapu pandangan ke seluruh ruangan dapur dan kamar mandi. Sepi, tak ada apapun di sana karena memang aku sedang sendirian di rumah ini.

Selesai sholat, aku mengambil gawaiku dan mengetik pesan pada suamiku.

‘Abang lagi apa? Sudah selesai belum kerjaannya? Cepat pulang, ya.’

Aku mulai merasa tidak nyaman. Sesuatu mengganggu pikiranku dan itu membuatku sangat tidak tenang.

Tak ada balasan. Aku memutuskan membaca Al-Qur’an sambil menunggu suamiku pulang. Hanya dengan ini satu-satunya yang bisa membuatku merasa aman dan tenang. Untunglah kompor sudah kumatikan sehingga aku tak perlu keluar kamar sampai suamiku pulang nanti.

Beberapa menit saat aku sedang membaca Al-Qur’an, suara senandung itu terdengar lagi. Aku menghentikan bacaanku, memusatkan pendengaran pada suara senandung yang terdengar samar itu.

Arahnya sepertinya dari luar di depan kamar ini. Ada niat dihatiku untuk melihat ke jendela di sudut ruangan ini untuk mencari tahu siapa yang sedang bersenandung maghrib begini.

Ah, tapi niat itu aku urungkan. Aku ini penakut, tapi penasaran. Benar-benar menyusahkan sifat seperti ini. Ah, sudahlah. Aku berusaha untuk tak terganggu dengan suara itu.

Aku meneruskan bacaanku. Tapi suara senandung itu makin lama makin terdengar jelas. Aku menyudahi tilawahku, berdiri, menaiki ranjang perlahan untuk melihat ke jendela ada apa diluar sana.

Tiba-tiba handphone milikku berbunyi. Aku hampir lompat karena kaget. Segera kuambil gawai yang berwarna putih susu itu. Suamiku menelepon.

“Sayang, abang sudah dijalan, hampir sampai. Tapi mau mampir dulu beli buah. Sabar, ya.”

Hhhhh. Leganya.

“Iya, Bang, adek tunggu segera, ya. Hati-hati di jalan, Bang.”

“Oke, Sayangku.”

Aku kembali turun dan membuka mukenaku, melipat sajadah dan meletakkannya di dalam lemari. Sementara Al-Qur’an aku letakkan di dekat bantal diatas tempat tidur. Ketika menutup pintu lemari, di sudut mataku kembali terlihat sebuah bayangan lewat di luar persis di depan jendela. Apa itu atau siapa itu? Aku berdiri mematung. Jantungku kembali berdebar saat aku kembali mendengar suara senandung yang semakin jelas diluar jendela.

Senandung lirih seperti sedang meninabobokkan bayi. Sambil terus beristighfar aku melangkahkan kakiku perlahan menuju jendela. tepat di depan jendela, tanganku bersiap membuka gorden. Sial. Sifat jelekku ini harus segera aku hilangkan. Aku sangat takut tapi aku juga sangat penasaran.

Aku sangat ingin tahu ada siapa di luar sana. Suara itu masih terdengar bahkan seperti ingin mengajak untuk ikut bersenandung juga. Bergetar tanganku berusaha meraih gorden siap untuk membuka.

Aku menutup mataku dan menyibakkan kain gorden dengan keras sampai terbuka lebar. Ketika aku membuka mata.

Sesosok perempuan berambut lurus acak dengan muka pucat tanpa ekspresi melihat kepadaku sambil bersenandung.

 

Talang Kelapa, 25/9/2012

Baca Juga: Seorang Pria Putus Asa

BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button