Review Venom: The Last Dance, Singkat, Padat, Emosional!


Film Venom; The Last Dance

Venom: The Last Dance menjadi sebuah penyegar dahaga bagi mereka yang sedang menanti-nanti kembalinya sosok alien Symbiote ini ke layar lebar. Film ini merupakan film penutup trilogi dari karakter Venom. Sebagaimana judulnya, Venom: The Last Dance merupakan perjalanan terakhir Eddie Brock sebagai inang Venom.

Film Venom: The Last Dance berfokus pada perjalanan Eddie Brock yang kini menjadi buronan pasca kejadian di film sebelumnya, Venom: Let There Be Carnage. Namun, bukan hanya harus berhadapan dengan polisi, Eddie kini juga harus berhadapan dengan Xenophage, alien pemburu Symbiote yang dikirim untuk mengambil Codex, sebuah kunci untuk membangkitkan villain utama, Knull yang ada pada diri Eddie.

Sebagai sebuah film penutup, film ini menjanjikan sebuah plot yang menarik, di mana film ini akan jadi perpisahan para penggemar dengan Venom dan Eddie Brock. Namun, apakah film ini menjanjikan plot yang layak sebagai film penutup sebuah trilogi? Simak reviewnya berikut!

Visual dan scoring bikin betah

Film seperti Venom yang menampilkan entitas-entitas fiksi tentu harus memiliki kekuatan ekstra dalam hal visualnya. CGI menjadi elemen paling penting untuk menggambarkan entitas-entitas tidak masuk akal seperti alien Symbiote sebagai sosok alien yang punya kemampuan menempel dan mengubah wujud menyerupai inangnya.

Venom: The Last Dance pada akhirnya sukses mengeksekusi CGI nya dengan sangat rapi. Efek-efek visual garapan Sony pada film ini harus diakui berhasil membuat penonton betah berlama-lama memandangi scene demi scene yang tersaji sepanjang film. Tidak hanya eksekusi untuk Symbiote, beberapa efek seperti petir, ledakan, serta efek-efek visual lain berhasil dieksekusi dengan super rapi oleh Sony.

Terlepas dari plot dan berbagai elemen yang oleh sebagian orang dianggap gagal dalam film kedua yakni Venom: Let There Be Carnage, CGI menjadi elemen paling menonjol dalam film tersebut. Sekarang, CGI dan efek visual yang hadir dalam Venom: The Last Dance bahkan jauh lebih halus ketimbang film keduanya. Scene demi scene diramu sedemikian rapi hingga membuat penonton betah berlama-lama menikmati suguhan visual yang memukau.

Dalam beberapa adegan, seperti yang tesaji dalam trailer, penonton akan disajikan beberapa scene di mana Venom menempel ke inang-inang lain, seperti kuda, katak dan ikan. Scene-scene ini menjadi beberapa bukti sahih bahwa CGI Venom: The Last Dance adalah CGI yang nyaris sempurna dan amat menyenangkan untuk dinikmati berlama-lama.

Di sisi lain, Venom: The Last Dance juga memberikan kualitas audio, terutama scoring yang pas. Setiap musik yang disuntikkan ke dalam sejumlah adegan terasa begitu pas dengan suasana yang tersaji di adegan tersebut. Hampir tidak ada cacat soal bagaimana Sony meramu scoring dalam film ini.

Ketika suasana dalam sebuah scene menggambarkan suasana horor, maka scoring juga akan menyajikan nuansa horor. Begitupun ketika suasana dalam scene tersebut menggambarkan suasana gembira. Scoring yang hadir sukses menyuntikkan aura yang sama gembiranya dengan yang digambarkan dalam scene yang tersaji.

Baca Juga:

Karakterisasi kuat seorang Tom Hardy

Sejak diplot untuk memerankan karakter Eddie Brock pada film Venom pertama yang tayang pada 2018, Tom Hardy tampaknya telah mendedikasikan hidupnya untuk karakter yang satu ini. Peran gandanya sebagai Eddie dan juga Venom pada akhirnya menjadi elemen penting untuk membuat dua karakter ini begitu hidup dan memorable dalam benak penonton.

Setelah konflik panjang antara keduanya dalam film Venom: Let There Be Carnage, Hardy mengajak penonton lebih menyelami hubungan bromance alias persahabatan antara Eddie dan Venom dalam Venom: The Last Dance. Karakterisasi Hardy untuk Eddie dan Venom terlihat begitu kuat di sini, bahkan membuat sejumlah penonton ikut terhanyut ke dalam hubungan bromance antara keduanya.

Fokus utama plot film Venom: The Last Dance adalah bagaimana cara Eddie dan Venom keluar dari situasi yang menempatkan mereka sebagai buronan. Eksekusi plotnya terbilang rapi, walau memang terasa agak terburu-buru karena singkatnya durasi. Dialog-dialog antara Eddie dan Venom sukses memberi kesan kepada penonton, bahwa dua karakter ini pada akhirnya bisa saling melengkapi dalam sebuah hubungan persahabatan.

Tanpa mengesampingkan peran Kelly Marcel sebagai sutradara dan salah satu penulis naskah, Hardy adalah sosok yang punya andil paling besar dalam menghidupkan film Venom: The Last Dance. Akting Hardy sebagai Eddie dan Venom telah membuat dua karakter ini saling terikat dan seakan menjadi dua karakter yang tidak terpisahkan.

Baca Juga:

Plot terlalu cepat dan kurang berkesan

Sebagai sebuah film Popcorn yang bisa dinikmati di kala senggang, Venom: The Last Dance layak dikategorikan sebagai film yang berhasil. Namun, untuk ukuran sebuah film pada umumnya, tidak ada sebuah sajian spesial dalam plotnya. Film ini bahkan terasa kurang berkesan untuk sebuah film yang harusnya menjadi penutup sebuah waralaba sebesar Venom.

Durasi 1 jam 50 menit untuk film ini rasanya masih kurang untuk menggambarkan bagaimana seharusnya sebuah film penutup trilogi dibangun. Adegan-adegan yang tersaji, terutama adegan-adegan action memang dieksekusi dengan baik. Tapi, durasi yang terlalu singkat sekali lagi, kurang memberikan kedalaman lebih baik untuk film yang satu ini.

Dampak dari plot yang dangkal pada akhirnya menyia-nyiakan potensi karakter-karakter yang ada dalam film Venom: The Last Dance. Memang, film ini fokus utamanya adalah perpisahan antara Eddie dengan Venom. Namun, kurangnya pendalaman karakter sejumlah tokoh pada akhirnya membuat film ini terasa kurang hidup.

Sebagai gambaran, memang tidak ada adegan dengan time skip yang agak mengganggu seperti pada film Venom: Let There Be Carnage. Namun, durasi yang begitu singkat pada akhirnya membuat plot Venom: The Last Dance kurang mengena. Tidak ada yang spesial dalam plotnya, terkecuali hubungan mendalam antara Eddie Brock dan Venom itu sendiri.

Villain kurang karismatik

Sebuah film bagus biasanya menghadirkan sosok karakter yang karismatik di dalamnya. Venom: The Last Dance sejatinya menjanjikan sosok demikian lewat kehadiran Knull yang terkonfirmasi sebelum film ini tayang. Knull adalah sosok pencipta Symbiote yang memburu Venom dan Eddie demi sebuah objek bernama codex yang terdapat dalam diri Eddie Brock.

Kemunculannya yang terkonfirmasi dalam film Venom: The Last Dance sempat membuat fans begitu antusias menyambut film ini. Namun, antusiasme para fans pada akhirnya harus sirna karena sosok sang villain tidak sekarismatik apa yang dijanjikan. Durasi lagi-lagi menjadi pembunuh nyata untuk karakter villain utama dalam film ini.

Pada film pertama, penonton mendapat suguhan villain Carlton Drake sebagai Riot. Villain yang satu ini datang dengan character development yang kuat. Riot digambarkan sebagai Symbiote yang berambisi menguasai bumi. Karakterisasi Riot dan Carlton Drake digambarkan begitu dalam, sehingga menghasilkan villain yang karismatik dan memorable.

Lalu pada film kedua, penonton kembali disuguhi sosok villain dengan pengembangan karakter yang kuat dalam sosok Cletus Kasady dan Carnage. Cletus digambarkan sebagai sosok psikopat gila yang tumbuh dengan rasa sakit akibat penyiksaan dari orang-orang terdekatnya. Ditambah dengan kehadiran Carnage, sosok Symbiote yang lahir dari Venom, makin membuat villain dalam film ke-2 Venom ini terasa memorable, terlepas dari kegagalan filmnya memenuhi ekspektasi besar para fans.

Sayangnya, Knull tidak punya banyak screentime dalam seri penutup Venom: The Last Dance. Walau statusnya sebagai entitas terkuat dan pencipta dari para Symbiote tidak bisa diragukan, Knull belum menampilkan sisi istimewanya di Venom: The Last Dance. Villain jadi poin minus tersendiri buat Venom: The Last Dance yang menawarkan banyak hal positif dari berbagai aspek.

Baca Juga:

Film Venom: The Last Dance merupakan film santai yang emosional

Akhir kata, sebagai sebuah seri penutup sekaligus perpisahan Venom dan Eddie Brock kepada para fans, Venom: The Last Dance adalah sebuah film santai yang tetap terasa emosional dan menghibur. Ia bukanlah film-film berat macam Interstellar ataupun Inception. Bukan juga film superhero yang memaksa penonton berpikir lebih lama untuk memahami plotnya.

Tom Hardy dan Kelly Marcel sebagai dua sosok yang membesut film ini berhasil menyuntikkan berbagai elemen segar ke dalam Venom: The Last Dance. Plotnya cepat, ringkas dan mudah dipahami. Sayangnya, ide-ide serta pengembangan karakter di film ini terasa agak dibatasi dengan durasi 1 jam 50 menit yang terasa masih begitu singkat.

Terlepas fakta tidak sedikit karakter yang pada akhirnya tersia-siakan di film Venom: The Last Dance, film yang satu ini pada akhirnya jadi penutup yang pantas buat Eddie Brock dan Venom itu sendiri. Kedua karakter ini sukses menciptakan atmosfer perpisahan yang cukup menguras emosi, terlepas dari plot yang agak terburu-buru dalam eksekusinya.

Ada indikasi bahwa Venom masih akan kembali. Tapi sedikit catatan untuk Sony, masih ada banyak aspek yang perlu dibenahi, terutama dalam hal durasi yang pada akhirnya berpengaruh pada plot jika berkaca pada Venom: The Last Dance. Bagaimana dengan anda sendiri? Tertarik menyaksikan Venom: The Last Dance yang saat ini masih tayang di bioskop-bioskop seluruh Indonesia?

Baca Juga: Film Venom; The Last Dance Tayang di Bioskop, Begini Sinopsisnya!

BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.


Senior