Pernahkah jadi guru wiyata bakti? Saya tidak yakin pembaca media ini pernah mengajar. Namun, setidaknya pernah bersekolah dan mengetahui  betapa beratnya menjadi seorang guru. Apalagi jika guru tersebut masih honorer atau wiyata bakti.
Di sekolah ada beberapa jenis guru di sekolah atau madrasah. Ada guru PNS, guru PPPK, guru tetap dan guru tidak tetap atau guru wiyata bakti.
Paling enak dari beberapa jenis guru tersebut adalah guru PNS. Mereka memiliki keistimewaan, berupa jumlah jam mengajar, tunjangan profesi dan gaji tetap dari pemerintah. Mereka juga memiliki jabatan sebagai kepala sekolah, wali kelas, kepala urusan dan kepala laboratorium.
Guru selanjutnya adalah guru PPPK. Mereka juga memiliki NIP seperti PNS. Mereka memiliki keistimewaan sama. Seperti gaji, jumlah jam mengajar, dan gaji tetap dari pemerintah.
Selanjutnya guru tetap, ini ada di yayasan. Guru tetap tidak ada di sekolah negeri. Mereka ada di sekolah swasta dan mendapatkan gaji tetap dari yayasan. Mereka  memiliki jabatan di sekolah dan jam mengajar yang cukup serta dapat tunjangan profesi. Nikmat pokoknya ketiga golongan guru di atas.
Guru terakhir inilah yang menderita. Mereka tidak memiliki gaji yang layak. Bahkan sekedar masuk ke Dapodik sulitnya bukan main. Saking sulitnya mereka sering mengeluh.
Saya saat ini menjadi guru PNS di sekolah negeri. Namun, sebelumnya saya menjadi guru wiyata bakti di  sekolah negeri selama 13 tahun. Lama juga ya. Sabar itu kuncinya.
Saya mulai menjadi guru wiyata di sekolah negeri sejak 2003 dan menjadi CPNS tahun 2016. Pengalaman guru wiyata yang lama itu menjadikan saya memahami betapa susah dan menderitanya jadi guru wiyata bakti atau guru honorer.
Pengalaman saya yang lama, membuat saya bisa merangkum kesedihan dan nestapa guru wiyata bakti. Apa saja keresahan guru tersebut? Berikut penjelasannya.
1. Gaji sulit dan rendah
Menjadi guru wiyata, mendapatkan jam mengajar yang sedikit. Ini dikarenakan jam mengajar sudah dipakai guru PNS dan PPPK. Â Sisanya untuk wiyata dan dibagi sesama guru wiyata bakti. Belum lagi gaji guru wiyata bakti berdasarkan jam mengajar dan kemampuan sekolah menggaji. Ini berdasarkan dana bos sekolah. Padahal sekolah mendapatkan dana bos berdasarkan jumlah siswa yang dimiliki. Bisa dibayangkan jika sekolah kecil dengan siswa sedikit. Bisa-bisa digaji hanya 200-300 ribu per bulan.
Baca Juga:
2. Pekerjaan menumpuk dan tanggung jawab sama dengan PNS
Hal yang saya alami selanjutnya ialah beban kerja yang banyak. Saking banyaknya hingga menumpuk. Seperti membuat RPP, membuat penilaian, mengoreksi tugas dan ulangan siswa. Belum tugas-tugas lain. Pokoknya tidak bisa hanya diselesaikan di sekolah. Harus ada yang dikerjakan di rumah.
Beban kerja guru wiyata itu sama dengan PNS. Bedanya ada pada masalah gaji dan kesejahteraan. Sungguh beban yang berat.
3. Tidak adanya kepastian masa depan
Kok sampai demikian. Ya, tidak ada jaminan masa depan bagi guru wiyata bakti. Sebab mereka diangkat oleh kepala sekolah. Dalam SK terdapat ketentuan yaitu tidak menuntut untuk diangkat sebagai pegawai negeri.
Jika mereka yang wiyata bakti mau membaca SK yang diterima saat pertama kali, dia akan berpikir ulang untuk menjadi guru wiyata. Itu saya alami bertahun- tahun. Sebab orang tua berharap saya menjadi guru. Akhirnya saya mencoba bertahan dengan gaji 300 ribu per bulan. Yah, berharap diangkat oleh pemerintah lewat tes CPNS. Saya kira sama dengan mereka yang berwiyata bamti saat ini.
4. Masih kerja serabutan, atau berusaha mencari nafkah dengan cara lain
Ini dilakukan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Ada yang berdagang, jadi tukang ojek, menulis arrikel dan naskah di media dan ada yang kerja kuli bangunan. Pokoknya kerja serabutan asal halal. Itu kata mereka. Termasuk saya dulunya, juga kerja serabutan seperti memberi les dan tambahan pelajaran juga menulis artikel.
Baca Juga:
5. Dipecat sewaktu-waktu, dengan banyak alasan
Jadi, guru honorer atau guru wiyata itu susah dan menyedihkan. Jika tidak dekat dengan pimpinan, apalagi tidak disukai pimpinan, bisa dipecat sewaktu-waktu. Caranya, diberikan jam mengajar yang sedikit, dibuatkan masalah sehingga tidak betah dan masih banyak lagi. Intinya tidak ada jaminan hukum dan bisa ditendang jika tak dibutuhkan. Apalagi unsur pimpinan memiliki maksud memasukkan anak atau keponakannya. Wah, bisa langsung ditendang saja.
Namun demikian, janganlah berkecil hati walau jadi guru wiyata. Anggap sebagai pengabdian pada negara dan berbagi ilmu. Dengan berbagi, rejeki akan dimudahkan Allah. Amiin.
Demikian, pengalaman saya menjadi guru wiyata bakti selama 13 tahun di sekolah negeri, pekerjaan menumpuk dan gaji sulit. Demikian, semoga bermanfaat dan terima kasih.
Baca Juga: 7 Tips Menjadi Guru Kreatif dan Inovatif, Belajar di Kelas Jadi Menyenangkan!
BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.