Malam yang bebal. Ramal berdiri di sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi. Napasnya terengah-engah. Ia lari dari sekolompok orang yang beringas, yang mengepung rumahnya.
Kali ini ia benar-benar sendiri. Tak ada lagi ajudan yang menemaninya. Semenjak korupsi besar-besaran yang ia lakukan – dan sudah mengeruk habis uang negara, dan partai tak lagi memberikan kepercayaan padanya, ia benar-benar tak punya teman lagi. Padahal, justru karena partailah dulu ia korupsi. Partailah yang membawanya menuju jalan yang bebal dan malam yang bebal itu. Jebakan yang tepat. Beberapa tahun yang lalu.
Baru dua tahun kurang ia menjabat, ia sudah dihadapkan dengan daluarsa perjanjian internasional 200 tahun yang lalu. Di mana seluruh negara sepakat, bahwa korupsi harus dihapuskan dari muka bumi ini. Dan, lagi-lagi, ia benar-benar tak punya teman. Tak punya apa-apa untuk melawan masa daluarsa perjanjian itu.
Teman-temannya, para aktivis, yang mendorongnya untuk ikut partai, dan mendukungnya maju menjadi kepala, hilang entah ke mana. Semua lenyap, lesap tak karuan. Hanya label! Hanya labellah yang ia miliki sekarang: koruptor. Kepala koruptor!
“Itu dia.”
“Tangkap dia.”
“Bajingan! Mau lari ke mana kau?”
Suara-suara itu. Suara-suara itu semakin dekat. Menggema. Memecah sunyi malam. Ya, dengan obor yang terbuat dari besi putih dan elektromagnetik, sekerumunan orang berjubah putih mengarah ke atas, sambil teriak: “Takbir!!!”
Ramal benar-benar beku. Ia menatap ke atas, ke langit yang buta. Tatapannya begitu tajam. Lama. Lama sekali. Tubuhnya gemetar seperti orang-orang yang kelaparan. Napasnya tek beraturan serupa maling di gang-gang sempit yang dikejar-kejar warga. Air matanya menitik serupa orang-orang yang kehilangan sawah. Ia benar-benar kalap. Ia tak kuat. Sungguh-sungguh tak kuat. Dan, sebelum ia benar-benar berhasil dibekukan segerombolan orang-orang berjubah putih itu, ia teriak sekencang-kencangnya, lebih kencang dari Rocker di belahan dunia mana pun, “Bajingan!!!”
***
Ramal panas lagi. Tubuhnya penuh keringat yang panas. Dan, hari itu ialah hari di mana adegan panas antara pemerintah dan mahasiswa tengah berlangsung, di siang yang panas. Sebagian aktivis mahasiswa berkerumun di depan istana negara sambil teriak yel-yel “Merdeka!” dan menyanyikan lagu “Darah Juang”. Sebagian lagi mengerumuni Ramal yang sedang sakit.
“Mimpi itu. Ia datang lagi, Sayang. Aku benar-benar takut.”
Sarinah, pacar Ramal yang sedari tadi menunggui kekasihnya itu, mendengarkan dengan khidmat kata-kata yang keluar dengan tergesa-gesa itu.
“Sayang, aku benar-benar tak kuat. Aku ingin menyerah.”
“Tidak, Sayangku, kau tak boleh menyerah. Siapa yang akan memimpin aksi massa ini? Mahasiswa-mahasiwa di luar itu butuh kamu. Gerakan ini bermula karena kamu, Sayangku. Jangan lemah. Jangan menyerah. Tolong, Sayang. Jangan bikin kecewa rakyat negeri ini.”
“Tapi, mimpi-mimpi itu selalu menghantuiku. Aku takut. Benar-benar takut.”
Air mata Sarinah menetes mendengar kesaksian pacarnya yang gagah berani itu, yang menjadi dipenuhi rasa takut yang teramat. Ada apa ini? Ramal tak pernah bercerita pada siapa pun mengenai mimpi-mimpinya. Sarinah merasa ada yang aneh dengan pacarnya.
“Ceritakanlah, Sayang. Apa yang telah terjadi?”
Ramal membisiki Sarinah, “Jangan ribut. Semua hanya rahasia kita berdua.”
“Baik. Ceritakanlah, Sayang.”
Mulanya Ramal sedikit takut dan ragu untuk menceritakan keseluruhan mimpi-mimpinya yang begitu menakutkan. Tapi, cinta tetaplah cinta. Cinta punya magnet sendiri untuk saling percaya dan dipercaya.
“Sayangku, Sarinah. Negeri ini sudah carut-marut sejak orang-orang takut belajar matematika. Bayangkan, Sayangku. 1+1=3. Pikiran macam apa yang telah merasuki rakyat negeri ini. Padahal, matematika adalah ilmu yang logis. Tapi, semua orang di negeri ini, tak mau mempelajarinya. Aku kalah, Sayang. Sungguh-sungguh kalah.”
Sarinah terheran-heran mendengar pengakuan Ramal. Belum sempat ia bertanya, Ramal melanjutkan ceritanya yang membingungkan itu.
“Dan, Kau tahu, Sayangku? Matematika dan alam? Kedua-duanya adalah pasangan yang serasi. Tak boleh ada yang menyalahi aturan keduanya. Sedangkan di negeri ini. Di negeri ini sudah tak berlaku lagi. Semua telah hanyut dalam pikiran-pikiran takut tak makan esok hari.”
“Lalu?”
Sembari mengambil napas panjang, Ramal melanjutkan, “Alam ini terdiri dari susunan-susunan matematika, Sayangku. Tiga tahun ini, kita, mahasiswa berturut-berurut telah gonjang-gonjing tak karuan. Kita dipermainkan matematika dan alam karena kita tak mau mempelajarinya.”
Ramal menahan tangisnya pecah. Tapi, air mata itu turun juga. Setitik. Setitik lagi. Hingga guyuran air mata membasahi pipinya yang garang. Ia sesenggukan dan berubah menjadi cengeng. Dan, suara Sarinah menyudahi kecengengan yang tiba-tiba itu dengan pertanyaan sekenanya, “Kau mempelajarinya, Sayang?”
“Aku ingat, Sayang. Sudah lebih dua tahun kita menggarap kawan-kawan mahasiswa untuk ikut aksi massa ini dan menurunkan rezim yang berapi-api ini. Pun dengan kau, Sayangku. Aku telah merayumu ikut denganku. Dan, kau ingat, Sayang? Sudah dua kali keberhasilan mahasiswa mendorong rezim untuk mundur dari masa jabatannya. Kau ingat, Sayang? Apa yang dilakukan oleh beberapa petinggi massa aksi itu? Mereka menjadi birokrat, Sayang. Aku takut. Aku takut mimpi-mimpi itu jadi kenyataan.”
Seperti disambar petir, muka Sarinah memerah karena marah. Dan…
“Kamu mau apa sekarang? Semua sudah memercayaimu, Sayang. Massa aksi ini harus berhasil. Rezim yang koyak ini harus dihentikan.”
“Aku tak kuat lagi, Sayang. Rezim yang kita hadapai ini berpenyakit komplit. Kau paham kan, Sayang? Rezim ini sudah periode kedua. Pastinya rezim sudah punya penagkal untuk aksi-aksi yang kita lakukan ini. Semua ranah sudah disusupi darah segar rezim.”
“Semua ranah sudah disusupi darah daging rezim? Termasuk kita?”
“Bisa jadi.”
“Dan, kau takut?”
“Aku benar-benar takut, Sayang.”
Sarinah kecewa besar. Kepalanya seperti papan tulis yang penuh oret-oretan.
“Kalau begitu, aku yang memimpin aksi massa.” Sarinah berlalu. Mahasiswa yang sedari tadi berkerumun, mengikuti langkah Sarinah menuju istana negara. Semua massa aksi berkumpul menjadi satu di bawah pimpinan Sarinah. Lengkingan yel yel “Merdeka!” semakin kuat, dan kidung “Darah Juang” seperti lagu cinta yang melulu.
***
Hampir senja tembaga. Aksi massa pecah. Semua media memberitakan bakal ada rezim lagi yang diturunkan oleh mahasiswa. Kobaran semangat dan euforia menyatu di tubuh mahasiswa-mahasiswa itu. Sarinah memimpin pasukan untuk memasuki istana negara.
Baru beberapa langkah mahasiswa itu hampir berhasil menduduki istana, terdengar suara yang tak begitu asing.
“Dor.”
“Dor.”
“Dor.”
Satu, dua, tiga, pelor senjata yang tidak ketahuan pangkalnya dari mana menembus kepala Sarinah. Segerombolan mahasiswa itu kalang kabut. Mereka menyelamatkan diri masing-masing. Dan…
“Titik kumpul kita di mana?”
“Cari si Ramal.”
“Titik kumpul, Bung. Seperti biasa.”
***
Malam masih begitu remaja, para mahasiswa yang tergabung dalam massa aksi itu berkumpul di tempat biasa, di sebuah kampung kumuh dekat rel kereta. Tapi, waktu itu, tidak seperti waktu-waktu yang biasa. Ramal dan Sarinah tak ada. Mereka hilang dan dihilangkan. Mematikan diri dan dimatikan. Tapi, mereka tetap saja bersikukuh untuk melanjutkan aksi massa, ada atau tidak adanya Ramal. Revolusi harus berhasil, kata mereka serempak.
Mereka berkumpul di warung seperti biasa. Minta makan dan kopi pada si Mbok warung. Mengepulkan rokok ketengan, dan membahas rencana apa selanjutnya.
“Bayar sendiri-sendiri ya.” Kata Mbok kepada mereka.
“Apa? Bayar sendiri-sendiri? Bukannya Si Ramal sudah kasih ke Mbok?”
“Kawanmu tadi siang ke sini, dia bilang mau ambil semua uang yang sudah masuk. Ya, Mbok tak punya uang toh. Mbok tunjuk minuman-minuman yang ada di guci. Mbok bilang padanya, kalau minuman itu diambil, mbok masih punya uang sisa.”
“Terus?”
“Ya, Mbok kasih dia sisanya, sekitar sejuta lima ratus.”
“Ayo kita cari dia. Bajingan!”
***
Sementara itu, di malam yang bebal, di sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi, Ramal merayakan kebodohannya dengan meneguk minuman dari si Mbok. Dan… tubuhnya gemetar. Ia tak kuat. Sunguh-sungguh tak kuat. Ia benar-benar kalap.
Dan…dari mulutnya terdengar lengkingan yang amat kuat: “Mimpi-mimpi!”
“MIMPI-MIMPI!”
***
Ramal, seperti pula pendahulunya. Sesuai keputusan hakim, harus mendekam di penjara, dengan pidana penjara seumur hidup.
***
Dua tahun kemudian, Ramal keluar penjara dan mengubah identitas.
2018-2022
Baca Juga: Kisah Penulis yang Resah Mencari Judul Cerpen
Tulisannya sangat menarik, sesuai dengan kondisi saat ini. Semoga kita tidak sampai masuk dalam lingkaran seperti itu. Amin Ya Allah…