Perkembangan Batik di Indonesia, Dari Zaman Majapahit Hingga Menjadi Tren Saat Ini


Ilsutrasi membatik (pixabay.com/AnglesNViews)

Batik merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang sudah mendunia. Setiap tanggal 2 Oktober, masyarakat Indonesia memperingati Hari Batik Nasional sebagai bentuk apresiasi terhadap kekayaan budaya yang satu ini.

Batik adalah salah satu warisan budaya yang paling dikenal dari Indonesia, dan telah diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda sejak tahun 2009.

Namun apakah kamu sudah tahu jika kata batik sebenarnya berasal dari singkatan dua kata? Kata ‘batik’ sendiri berasal dari gabungan kata dalam bahasa Jawa, ‘amba’ yang berarti “menulis” dan ‘titik’. Kata batik diambil dari istilah menulis titik, yang membentuk suatu pola kemudian menghasilkan motif khas yang indah dan cantik.

Perkembangan batik di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Jawa. Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, dapat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung.

Berkembang berbagai jenis batik di Indonesia

Pada umumnya ada dua jenis desain batik, yaitu geometris dan non-geometris. Desain geometris terdiri atas (1) motif parang dan diagonal, (2) persegi/persegi panjang, silang atau motif ceplok dan kawung, dan (3) motif bergelombang (limar). Sementara desain non-geometris terdiri atas (1) semen [motif semen terdiri atas flora, fauna, gunung (meru), dan sayap yang dirangkai secara harmonis], (2) buketan, dan (3) lunglungan.

Ditinjau dari jenisnya, kita mengenal batik keraton, yakni batik dari Surakarta (Solo) dan Yogyakarta (Yogya). Batik keraton memiliki beberapa motif dan filosofi. Motif Ceplokan Kasatrian digunakan oleh masyarakat kelas menengah ke bawah, orang yang mengenakannya akan terlihat gagah dan kepribadian yang berani; Motif Parang Rusak Barong (parang berarti senjata) menunjukkan kekuatan, kekuasaan, dan pergerakan yang gesit, ksatria yang mengenakan batik ini terlihat gagah dan cekatan; Motif Kawung digunakan oleh para Raja dan keluarga kerajaan, sebagai sebuah simbol kekuasaan dan keadilan; Motif Truntum (truntum berarti membimbing), mengandung makna bahwa diharapkan orang yang memakainya dapat memperoleh dan memberi kebaikan.

Jenis lainnya adalah batik pesisir, yakni batik yang dibuat di luar daerah Solo dan Yogyakarta. Beberapa contohnya Motif Megamendung dari Cirebon, Motif Paksinagaliman dari Cirebon, Motif Merak Ngibing dari Indramayu, dan Motif Sawat Gunting, juga dari Indramayu.

Batik harus benar-benar kita lestarikan. Pengalaman yang lalu-lalu menunjukkan pelestarian berbagai peninggalan masa lampau hampir selalu terabaikan karena masalah dana. Nah, mulailah membuka mata, perjuangan keras agar batik tidak diklaim negara lain sudah berhasil, kini upaya pelestarian harus benar-benar dipikirkan.

Baca Juga:

Proses pembuatan batik berkembang pesat

Di beberapa wilayah di Indonesia, banyak dijumpai bahan-bahan pembuatan batik dari bahan alami, seperti kayu pohon mengkudu, kunyit, tinggi, soga, dan nila. Juga bahan soda yang dibuat dari soda abu serta garam yang dibuat dari tanah lumpur.

Kain batik memiliki nilai sejarah yang tak ternilai, karena pada kain batik terdapat makna suatu peristiwa, identitas, penjelasan strata sosial, bahasa kebudayaan, spiritualitas manusia, penemuan teknologi, dan perjalanan suatu peradaban.

Batik merupakan seni melukis yang dilakukan di atas kain. Dalam pengerjaannya, pembatik menggunakan lilin atau malam untuk mendapatkan ragam hias atau pola di atas kain yang dibatik dengan menggunakan alat yang dinamakan canting.

Dibandingkan peninggalan budaya lainnya, seni batik memiliki kelebihan tersendiri. Nilai pada batik Indonesia bukan hanya semata-mata pada keindahan visual. Lebih jauh, batik memiliki nilai filosofi yang tinggi serta sarat akan pengalaman transendenitas. Nilai inilah yang mendasari visualisasi akhir yang muncul dalam komposisi batik itu.

Kegiatan membatik merupakan sebuah proses yang membutuhkan ketelatenan, keuletan, kesungguhan, dan konsistensi yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari serangkaian proses, mulai dari mempersiapkan kain, membuat pola, membuat isian, hingga pengeringan.

Batik dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu proses pembatikan, kualitas pembatikan, motif, dan warna batik. Beberapa orang ada yang memperhitungkan makna atau nilai yang terkandung dalam selembar kain batik.

Secara visual, batik mempunyai sejumlah pakem yang mesti diterapkan dalam penggunaannya. Baik dalam pakem pembuatan pola maupun pakem penggunan motif tersebut beserta acara atau upacara ritual yang akan diselenggarakan. Tidak sembarang orang boleh menggunakan pola tertentu. Pola Parang Rusak, misalnya, hanya boleh digunakan oleh Pangeran atau Pola Truntum yang diperuntukkan bagi pasangan pengantin.

Warna yang digunakan pada batik keraton terbatas pada pewarna alami. Ini karena pada masa itu belum ditemukan pewarna sintesis. Berdasarkan kosmologi Jawa, penerapan warna seperti hitam, merah, putih atau coklat mengacu pada pakem yang berlaku. Semua tata aturan tersebut bertujuan untuk penyelarasan dan harmonisasi.

Penyelarasan dan harmonisasi itu sendiri merupakan suatu tujuan utama dari kearifan lokal dalam penciptaan karya seni, dalam hal ini adalah batik. Penciptaan tersebut merupakan suatu bagian dari kehidupan sehari-hari. Hal ini kiranya sesuai dengan adagium “seni sebagai seni”, bukan seni untuk sebatas harta.

Baca Juga:

Batik menjadi tren saat ini

Ragam corak dan warna batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing. Awalnya, batik memiliki ragam corak dan warna yang terbatas, dan beberapa corak hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan juga pada akhirnya, para penjajah.

Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh Tionghoa, yang juga mempopulerkan corak phoenix. Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik, dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau kereta kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru. Batik tradisonal tetap mempertahankan coraknya, dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki perlambangan masing-masing.

Pada awalnya baju batik kerap dikenakan pada acara acara resmi untuk menggantikan jas. Tetapi dalam perkembangannya pada masa Orde Baru baju batik juga dipakai sebagai pakaian resmi siswa sekolah dan pegawai negeri setiap hari Jumat. Perkembangan selanjutnya batik mulai bergeser menjadi pakaian sehari-hari terutama digunakan oleh kaum wanita. Pegawai swasta biasanya memakai batik pada hari Kamis atau Jumat.

Tidak hanya di Indonesia. budaya menggunakan batik berkembang pesat. Di Malaysia setiap Kamis, semua pegawai negeri lelaki diharuskan memakai baju batik Malaysia mulai 17 Januari 2008. Negera lainnya, China juga sudah memiliki motif batik sendiri, yang disesuaikan dengan budaya dan tradisi di sana.

Baca Juga: Festival Budaya Indonesia: Melestarikan Kearifan Lokal dan Menarik Minat Wisatawan


Hero