Tidak banyak orang yang tahu bahwa Winston Churchill pernah memenangkan hadiah Nobel pada tahun 1953. Bukan Nobel perdamaian mengingat dia seorang politisi dan pemimpin besar, tapi Nobel sastra sebagai seorang penulis.
Film The Darkest Hour (2017) menceritakan kehebatan Churchill dengan kata-kata sebagai senjata andalannya.
Sinopsis Film The Darkest Hour (2017)
Film ini mengisahkan hari-hari awal Winston Churchill sebagai Perdana Menteri Inggris selama Perang Dunia II, khususnya selama krisis kabinet perang pada Mei 1940.
Dalam film ini, Winston Churchill, yang diperankan oleh Gary Oldman, menghadapi tantangan besar saat Nazi Jerman mengancam untuk menguasai Eropa Barat. Dengan tentara Inggris yang terancam di Dunkirk dan tekanan dari partainya sendiri serta Raja George VI, Churchill harus memutuskan apakah akan bernegosiasi dengan Jerman atau melawan mereka.
Film ini juga menyoroti pidato-pidato Churchill yang terkenal, termasuk pidato “We shall fight on the beaches”, yang menginspirasi bangsa Inggris untuk terus berjuang melawan Nazi. Selain Gary Oldman, film ini juga dibintangi oleh Kristin Scott Thomas sebagai Clementine Churchill, Lily James sebagai Elizabeth Layton, dan Ben Mendelsohn sebagai Raja George VI.
Baca Juga:
Review Film The Darkest Hour (2017)
Sebelum film The Darkest Hour dirilis, saya berpikir bahwa ini akan menjadi pelengkap Dunkirk (oleh Christopher Nolan, 2017) yang apik. Kalau Dunkirk menggambarkan perang dari garis depan, maka The Darkest Hour menceritakan orang-orang yang mengatur papan perang, dua sisi yang berseberangan dan melengkapi ala Letters from Iwo Jima dan Flags of Our Fathers (keduanya produksi Clint Eastwood, 2006).
Dalam satu sisi, The Darkest Hour memang film perang pada umumnya. Berlatar pada awal Perang Dunia II, film ini berpijak dari kegagalan Neville Chamberlain (Ronald Pickup) untuk memimpin Inggris pada masa perang. Krisis kepemimpinan memaksa orang parlemen dan kerajaan untuk memanggil Winston Churchill (Gary Oldman) sebagai perdana menteri. Semua orang ragu pada awalnya, karena Churchill adalah sosok yang keras dan mengintimidasi, bahkan membuat sekretarisnya Elizabeth Layton (Lily James) menangis.
Seperti film perang pada umumnya, The Darkest Hour membahas keputusan-keputusan sulit yang harus diambil Churchill untuk menghadapi Hitler. Situasi waktu itu pelik: Belgia, Prancis, dan Belanda baru saja kalah dan di bawah invasi Jerman. Inggris pun terancam mesti tunduk di bawah rezim Nazi karena hampir semua pasukannya terjebak di Dunkirk, Prancis.
Di dalam negeri pun tak kalah sulit: Churchill tidak didukung oleh partainya sendiri, karena Chamberlain dan Lord Halifax (Stephen Dillane) menginginkan Halifax sebagai PM dan bukannya Churchill. Raja George XI (Ben Mendelson) pun lebih condong ke Halifax karena hubungan personal.
Baca Juga:
Kemampuan Churchill menggerakan pasukan melawan tentara Nazi dengan rangkaian kata-kata
Lebih dari apapun, The Darkest Hour menampilkan sisi Churchill sebagai pandai kata. In a time of turmoil and political turbulence, words help Churchill in navigating his way in and out. Saya suka sekali setiap adegan antara Churchill dan Layton, yang menggambarkan bagaimana Churchill berpikir dan menuangkan idenya lewat pidatonya, dengan kata-katanya sendiri. Ini penting, karena berarti semua yang dikatakan Churchill berasal dari dirinya sendiri dan bukan cuma sekedar formalitas yang dibuat oleh orang lain.
Mungkin ini yang membuat pidato Churchill sangat kuat dan menyentuh. Meskipun tidak sepenuhnya benar, dia percaya akan kata-katanya sendiri.
Dalam masa-masa terburuk perang di mana kekalahan terasa dekat, apa lagi yang seorang pemimpin bisa lakukan selain membangkitkan harapan? Churchill mengerti ini, dan dia pun mengerti bahwa sebelum dia meminta orang untuk mendengarkan dan mempercayai kata-katanya, dia sendirilah yang harus diyakinkan.
Film The Darkest Hour menceritakan bagaimana kata-kata Churchill menginspirasi orang-orang itu. Sebuah kutipan dari Halifax menyimpulkan The Darkest Hour dengan sempurna, “(Churchill) menggerakkan Bahasa Inggris dan mengirimnya ke pertempuran.”
Karena ketika kekalahan ada di depan mata, apa lagi yang kita punya selain harapan dan kata-kata?
Baca Juga: Bikin Tegang, Review Film Korea Rampant: Serangan Zombie dan Pengkhianat Kerajaan