Dusun atau Padukuhan Wotawati yang terletak di Kalurahan Pucung, Kapanewon Girisubo, Gunungkidul mulai bersolek. Permukiman warga yang terletak di Lembah Bengawan Solo Purba itu diproyeksikan menjadi daya tarik wisata dengan menampilkan bangunan khas ala Kerajaan Majapahit dan Mataram.
Dengan eksotisme wilayah, kearifan lokal, dan budaya masyarakatnya yang kental dengan nilai-nilai Jawa, padukuhan ini akan didorong menjadi salah satu desa wisata di Yogyakarta.
Di mana Lokasi padukuhan Wotawati?
Lokasi Dusun Wotawati, berada di Kelurahan Pucung, Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunungkidul, D.I. Yogyakarta. Desa ini berjarak sekitar 2 jam perjalanan darat dari pusat Kota Yogyakarta.
Untuk batasan wilayah, di sisi timur dan utara berbatasan dengan Desa Sumberagung Kecamatan Pracimantoro Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah. Sedangkan di sisi barat berbatasan dengan Padukuhan Bendo Kalurahan Jeruk Wudel Kapanewon Girisubo dan sisi selatan berbatasan langsung dengan laut selatan Jawa.
Berdasarkan jangkauan wilayahnya, Padukuhan Wota Wati ini dapat dikatakan sebagai perkampungan yang unik, karena lokasi padukuhan ini terletak di aliran Bengawan Solo Purba dengan dikelilingi Utara, timur dan baratnya dengan pegunungan yang dimana berbatasan dengan wilayah lain bahkan di sisi timur dan Utara berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri.
Kondisi geografis dusun dikelilingi dengan area perbukitan hijau. Wilayah dusun masih asri dan memiliki wisata alam Goa Song Putri.
Asal usul nama padukuhan Wotawati
Dusun Wotawati tak lepas dari masa akhir kerajaan Majapahit. Kisahnya bermula dari peperangan antara Majapahit dan kerajaan Demak.
Salah seorang punggawa Kerajaan Majapahit, yaitu Raden Joyo Sukmo dan istrinya Ni Mas Arum Sukmawati pergi dari Majapahit ke arah barat daya. Mereka kemudian melihat sebuah lembah yang subur.
Di tempat itulah, kemudian mereka bersama pengikut-pengikutnya tinggal. Suatu hari, Ni Mas Arum Sukmawati mengajak suaminya untuk jalan-jalan. Karena bekas sungai Bengawan Solo Purba, ada kalenan (sungai kecil), kemudian dibuatlah wot atau jembatan dari bambu agar mereka bisa menyebrang.
Jembatan itu ternyata licin dan menyebabkan Ni Mas Arum Sukmawati kemudian terpeleset dan jatuh. Karena peristiwa itulah, Raden Joyo Sukmo kemudian menamakan dusun tersebut dengan nama Wotawati, yang berasal dari kata ‘wot’ yang berarti jembatan kayu dan ‘wati’ dari kata Sukmawati.
Memiliki waktu siang hanya 7 jam
Padukuhan Wotawati dikenal sebagai wilayah yang mengalami waktu siang begitu cepat. Bagaimana tidak, padukuhan ini terletak di antara perbukitan membuat wilayah itu terlambat mendapatkan sinar matahari di waktu pagi.
Padukuhan ini memiliki waktu siang hanya tujuh jam sehari. Fenomena alam yang unik ini terkait dengan kondisi geografis Dusun Wotawati.
Kondisi geografis dusun dikelilingi dengan area perbukitan hijau. Hal ini menyebabkan sinar matahari terhalang perbukitan tinggi. Kondisi inilah Dusun Wotawati lebih sedikit terkena sinar matahari, sehingga lama area tersebut terkena sinar matahari lebih singkat dari wilayah lain.
Dusun Wotawati baru mendapatkan sinar matahari sekitar pukul 08.00 WIB hingga 08.30 WIB. Waktu pagi di Dusun Wotawati bisa jadi lebih lambat di musim hujan atau saat cuaca mendung.
Dan tentunya, padukuhan ini juga mengalami malam yang lebih cepat dibanding wilayah lainnya. Pada pukul 16.30 WIB, padukuhan Wotawati sudah menjadi gelap seperti malam hari.
Masyarakat di sini telah terbiasa dengan fenomena alam tersebut, mereka malah merasa bersyukur karena hal ini membuat kehidupan di dusun terasa berbeda. Pola waktu yang berbeda ini justru mengatur kehidupan warga dengan baik. Tanpa jam pun, mereka sudah tahu kapan waktunya pulang ketika sore mulai datang lebih awal.
Padukuhan Wotawati terkenal dengan keasrian wilayahnya
Selain waktu siang hari yang singkat, Padukuhan Wotawati terkenal dengan keasrian wilayahnya. Hal ini membuat pemerintah setempat mendorong agar Padukuhan Wotawati dapat menjadi desa wisata untuk mendorong perekonomian warga.
Per Juni 2024, Pemerintahan Kabupaten Gunungkidul mulai melaksanakan proyek Pembangunan Kawasan Terpadu Padukuhan Wotawati. Proyek pembangunan ini menganggarkan dana Rp5 miliar. Dengan tampilan baru yang mengusung nuansa kerajaan Majapahit, Wotawati akan menarik lebih banyak wisatawan untuk berkunjung dan menginap.
Bangunan khas ala kerajaan mulai dibangun. Sejumlah pagar rumah warga dibangun dengan bata merah serta gapura. Begitu pula dengan fasad dan joglo. Setidaknya ada 79 rumah warga yang tengah ditata. Untuk pagar telah mencapai 98 persen, fasad 25 persen dan joglo 30 persen.
Desain baru ini mengusung elemen-elemen tradisional yang sangat kental, dengan gerbang rumah (gapura) yang mirip dengan bentuk gapura pada zaman kerajaan Majapahit dan Mataram. Sebagian besar rumah di Wotawati memiliki tampilan depan bangunan atau fasad yang sama. Kesamaan itu tampak pada penggunaan bata merah ekspose pada bagian dindingnya.
Baca Juga:
Budaya dan kearifan lokal masyarakat di Padukuhan Wotawati
Warga dusun ini punya tradisi dan kearifan lokal yang unik, seperti tradisi Rasulan yang diadakan setelah masa panen. Warga dikenal menjunjung tinggi gotong royong. Mereka saling bahu-membahu pembangunan fasilitas umum,
Ada juga upacara bersih dusun. Upacara adat ini diawali dengan mengirim sesaji untuk arwah yang di keramatkan yang terletak di ujung kampung. Acara tersebut diikuti oleh masyarakat dan dipimpin oleh tetua kampung yang dipercaya sebagai sesepuh yang disebut juru kunci.
Mayoritas masyarakat Padukuhan Wotawati bekerja sebagai petani dan nelayan. Selama ini hasil pertanian dan nelayan selalu keluar dari Wotawati dengan hasil mentah dengan harga yang murah.
Di bawah bayang-bayang pegunungan karst yang menjulang tinggi, Padukuhan Wotawati masih terus berbenah. Hal ini membuktikan bahwa pembangunan berkelanjutan dapat berjalan selaras dengan pelestarian warisan budaya dan alam sekitar.
Baca Juga: Destinasi Wisata Tebing Breksi Yogyakarta, Megah dan Memacu Adrenalin