Jejak Kehidupan Harmonis Suku Tengger, Abadi di Tengah Kabut Bromo

Di kawasan pegunungan Bromo terdapat masyarakat yang sejak lama hidup selaras dengan alam dan memegang kuat tradisi luhur leluhur dalam bahasa Jawa kuno wilayah ini disebut Tengger yang berarti dataran tinggi dari sinilah sebutan wong Tengger berasal.
Wilayah Gunung Bromo dan Semeru yang sebagian besar termasuk dalam wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, adalah tumpah darah suku Tengger, tempat mereka hidup, bersosialisasi, berkebun dan dan berinteraksi dengn kekayaan alam yang ada di wilayah itu. Masyarakat Tengger masih memegang teguh tradisi di tengah serbuan arus informasi yang bagi sebagian orang dianggap lebih menjanjikan daripada budaya lokal yang kita miliki.
Masyarakat ini bermukim di wilayah Lumajang, Malang, Probolinggo, dan Pasuruan. Mereka menjalani kehidupan yang egaliter menjaga keseimbangan dengan alam serta mempertahankan budaya dan ritual dan diwariskan secara turun temurun.
Agama dan kepercayaan suku Tengger
Masyarakat Tengger menganut agama Hindu Tengger, ajaran yang menyandingkan agama dengan tradisi nenek moyang. Selain memperingati hari besar keagamaan Hindu, mereka juga melaksanakan ritual seperti Yadnya Kasada, Pujan-pujan, Hari Raya Tayo hingga ritual domestik yang selalu mengundang Danyang. Danyang adalah roh yang menjaga desa mereka. Danyang terdiri dari laki-laki dan perempuan.
Hindu masyarakat Tengger berbeda dengan Hindu di Bali. Perbedaannya antara lain, Hindu Tengger tidak mengenal ngaben sebagai upacara kematian sebagaimana di Bali.
Kaum Tengger dikenal taat beribadah dan menjalankan adat istiadat dengan baik. Masyarakat Tengger menghayati sesanti “Titi Luri” ((“Titi Luri”, berarti mengikuti jejak para leluhur atau meneruskan Agama, Kepercayaan dan Adat-istiadat nenek moyang secara turun temurun). Jadi Setiap upacara dilakukan tanpa perubahan, persis seperti yang dilaksanakan oleh para leluhurnya berabad-abad yang lalu.
Baca Juga:
Sarung merupakan pakaian wajib suku Tengger
Orang Tengger mempunyai kebiasaan unik dalam beradaptasi dengan hawa dingin yang kadang-kadang bisa mencapai 10 derajat, yaitu dengan mengenakan sarung sebagai salah satu aksesoris wajib yang dikenakan oleh semua usia, mulai remaja sampai orangtua.
Bagi masyarakat suku tengger di Pegunungan Bromo dan Semeru, sarung ternyata tak hanya digunakan sebagai pakaian pengusir dingin namun juga telah menjadi tradisi wajib yang dikenakan sebagai ciri khas tersendiri bagi masyarakat setempat. Dalam tradisi tersebut, memakai sarung memiliki cara dan kegunaan yang berbeda saat mengenakannya,selain juga menujukkan status seseorang dari motif dan bahan sarung yang digunakan.
Jika digunakan untuk bekerja, maka sarung harus dikenakan dengan cara dilipat dua, kemudian disampirkan ke pundak bagian belakang dan kedua ujungnya diikat jadi satu. Cara tersebut dikenal dengan istilah Kekawung yaitu suatu cara yang dilakukan agar pengguna bisa bebas bergerak untuk mengambil air atau pergi ke pasar. Namun jika pekerjaannya lebih berat seperti ke ladang dan pekerjaan berat lainnya, sarung harus dikenakan dengan cara sesembong yaitu dilingkarkan pada bagian pinggang kemudian diikatkan seperti dodot (di atas perut dan di bawah dada) agar tidak mudah terlepas. Berbeda halnya jika sarung digunakan untuk bertamu maka penggunaan sarung harus lebih rapi yakni dipakai secara utuh hingga ke bagian pinggang seperti pada umumnya atau dikenal dengan istilah sempetan.
Hawa dingin yang menyelimuti kawasan penggunungan Bromo membuat sarung juga digunakan warga suku tengger sebagai kekemul yaitu disarungkan pada tubuh dan bagian atas dilipat menutupi kedua bagian tangan serta digantungkan di bagian pundak. Sementara jika bepergian, biasanya sarung digunakan dengan cara disampirkan dipundak secara terlepas atau bergantung menyilang pada dada atau dikenal dengan sebutan Sengkletan. Cara penggunaan sarung diikatkan di bagian belakang kepala kemudian dikerudungkan sampai menutupi seluruh bagian kepala hingga yang terlihat hanya mata dikenal sebagai Kekodong yaitu digunakan ditempat upacara atau kegiatan keramaian lainnya di malam hari.
Baca Juga:
Rumah Tradisional Suku Tengger
Rumah tradisional Tengger memiliki dua jenis sunduk. Sunduk adalah pasak besar untuk rangka rumah. Sunduk kandang ditandai empat saka guru di tengah dan delapan cagar pinggir. Sedangkan sunduk dongkleh menandakan satu sunduk lagi pada cagak pinggir. Ciri khas rumah Tengger adalah dua sunduk yang biasanya diganjal dengan nanas bunga mawar atau burung.
Dalam tradisi Tengger tiap rumah memiliki simbolis yang memperkuat hubungan antara manusia dan leluhur. Empat tiang utamanya diikat kain merah sebagai lambang bapak dan daging, serta kain putih di sisi Timur sebagai lambang ibu dan tulang, di bagian tengah digantung untaian padi kelapa jagung tebu pinang dan sirih sebagai simbol kehidupan kesuburan dan doa agar rumah membawa keberkahan bagi penghuninya.
Rumah tradisional Tengger di bagian menjadi tiga ruang utama yaitu:
- Pedhayohan, yang digunakan untuk menerima tamu dan melangsungkan ritual keluarga
- Pedharingan, tempat berkumpul antara anggota keluarga bahkan antar tetangga
- Peturon, kamar tidur sebagai ruang antara yang menjadi penghubung antara penjaringan dan pendayuhan
Walaupun saat ini rumah tradisional sehingga sudah jarang ditemui, namun komponen-komponen tersebut masih dapat ditemui dalam rumah modern. Pemukiman dan rumah Tengger mencerminkan struktur dan kepercayaan mereka. Rumah bukan hanya tempat tinggal tetapi representasi simbol harmonisasi akan penghormatan kepada leluhur dan hubungan antar masyarakat Tengger.
Baca Juga: 11 Upacara Adat Suku Tengger, Kekayaan Budaya di Kaki Gunung Bromo


















