Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah membangun dan merevitalisasi ruang publik agar semakin membuat masyarakat nyaman. Termasuk dalam hal ini kawasan Jenderal Sudirman.
Sebelum muncul ruang publik dan trotoar yang luas, Jalan Jenderal Sudirman hanya dimiliki oleh orang-orang kantoran yang bekerja di kawasan tersebut. Sementara, orang-orang yang tidak bekerja di kawasan tersebut tidak bisa menikmatinya.
Seiring berjalannya waktu, kawasan Jalan Jenderal Sudirman telah tertata rapi secara infrastruktur. Para pekerja yang setiap hari melewati kawasan Sudirman, mendapat tempat tersendiri untuk sekedar bersantai, atau berjalan-jalan.
Bukan hal yang baru di Indonesia, di luar negeri pun ada
Mundur ke belakang, beberapa dekade sebelumnya, anak muda Jakarta sempat menguasai kawasan Blok M (Melawai). Pada era tahun 80-90an, Blok M adalah tempat ‘ngeceng’ anak gaul ibu kota. Aktivitas mereka akrab disebut jalan-jalan sore (JJS). Mereka juga saling adu gaya fesyen dan unjuk kemampuan dalam menari breakdance.
Jauh sebelum kawasan Blok M populer, fenomena ini juga muncul di luar negeri. Stasiun Harajuku di Tokyo, Jepang, yang jadi pusat gaya Harajuku yang nyentrik – dari gotik sampai punk, dari vintage sampai lolita – yang dipopulerkan anak muda Jepang pada 1964. Bahkan, gaya ini menjadi cikal bakal perkembangan salah satu subkultur terbesar dunia yaitu cosplay.
Berkembangnya tren gaya Harajuku pada waktu itu salah satunya karena kawasan itu dilengkapi dengan distrik perbelanjaan yang menyediakan tren terbaru dari pakaian hingga makanan.
Di Korea Selatan pun ada ruang temu bagi anak muda Seoul yang kekinian. Salah satu yang terkenal adalah Hongdae Street. Seperti di Harajuku, Hongdae menawarkan berbagai tempat berbelanja pakaian, sepatu, dan aksesoris berharga murah. Kafe dan restoran pun bertebaran dengan menu favorit anak muda.
Serupa dengan kisah Blok M, Stasiun Harajuku, dan Hongdae Street, kawasan Sudirman-Dukuh Atas pun telah berevolusi menjadi ruang temu modern bagi remaja dan anak muda pinggiran Jakarta untuk memamerkan identitas mereka.
SCBD, Tempat berkumpulnya pekerja dari kawasan penunjang Jakarta
SCBD merupakan sebutan untuk pusat bisnis di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Dukuh Atas, Jakarta Pusat. Di wilayah tersebut banyak ditemukan perkantoran modern, hotel, cafe dan sarana yang mendukung aktivitas bisnis lainnya.
SCBD yang merupakan singkatan dari Sudirman Central Business District, diplesetkan menjadi Sudirman-Citayam-Bojong Gede-Depok untuk menyebut nama-nama kawasan tersebut.
Dukuh Atas, yang berada di kawasan SCBD sendiri juga menjadi pusat integrasi antar moda. Semua penumpang KRL yang berkantor dekat di sekitar jalan jenderal Sudirman, akan berkumpul kawasan Dukuh Atas untuk melanjutkan perjalanan mereka. Kumpulan manusia yang sebagian besar berasal dari wilayah Depok, Citayam, Bojong Gede, dan Bogor, dan juga Bekasi merasa senasib, karena berstatus karyawan di perkantoran wilayah SCBD .
Istilah Citayam Fashion Week
Istilah Citayam Fashion Week digunakan untuk menyebut sejumlah remaja yang biasa nongkrong di kawasan Sudirman dengan pakaian bergaya street fashion. Para remaja ini kebanyakan datang dengan mengenakan gaya busana yang kasual dan trendi ala street fashion mulai dari kemeja flanel oversize, celana model 90an, sweater sport, sneaker warna warni hingga accesories dan jaket kulit.
Sebutan Citayam Fashion Week ini sempat diungkap karena mereka ingin show berlenggak lenggok di depan banyak orang seolah sedang berada di panggung fashion show.
Pelampiasan dari beban kerja, kesulitan hidup dan eksistensi warga pinggiran Jakarta
Pekerja di kota metropolitan memang kebanyakan berdomisili di kawasan suburban, seperti kawasan Citayam, Bojong Gede, Depok, bahkan Bekasi dan Tangerang. Meski demikian, label warga kelas 2 justru terus disematkan kepada mereka yang sejatinya memainkan peranan penting pada roda perekonomian Ibukota.
Jakarta memang mempunyai daya tarik sendiri. Banyaknya kaum sub urban yang tinggal di daerah penunjang Jakarta adalah bukti konkretnya. Setiap hari, kaum suburban tersebut berjuang mencari nafkah di Jakarta. Perjuangan berat bahkan dimulai ketika mereka harus berdesakan naik KRL, kemudian tergesa-gesa menuju lokasi kerja.
Perjuangan hidup yang begitu berat apalagi di tengah pandemi Covid-19 yang masih belum berakhir, masyarakat pekerja tersebut butuh sesuatu untuk melampiaskan kesulitan hidup selama ini.
Selain sebagai pelampiasan dari beban kerja, faktor lain yang mendorong anak muda Depok, Citayam, Bekasi atau Bojong Gede rajin mendatangi kawasan Sudirman adalah karena keterbatasan fasilitas publik di daerah sekitar tempat mereka tinggal. Keterbatasan ruang publik di sana, membuat mereka tidak bisa menunjukkan eksistensi di wilayah mereka sendiri.
Kawasan sekitaran Sudirman merupakan ruang milik bersama, tanpa membedakan status ekonomi dan strata sosial. Kawasan Sudirman bukan hanya milik para pekerja di kawasan tersebut atau warga Jakarta semata. Kawasan tersebut juga bisa menjadi ajang eksistensi masyarakat yang tinggal di daerah penunjang Jakarta.
Baca Juga: 5 Makanan Khas Korea Menggugah Selera Yang Sering Muncul di Dramanya