7 Tradisi Jawa Untuk Menyambut Kelahiran Bayi, Dari Brokohan Hingga Setahunan
Kelahiran anak merupakan momen yang membahagiakan bagi orang tua. Dalam menyambut kehadiran bayi, biasanya masyarakat Jawa juga menggelar sejumlah tradisi.
Biasanya sejumlah tradisi tersebut dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur. Tradisi-tradisi tersebut sudah berlangsung sejak zaman dahulu dan berisi berbagai macam ritual yang harus dipenuhi mulai dari hari kelahiran hingga beberapa hari pasca kelahiran sang bayi.
Berikut tradisi Jawa yang biasa dilakukan untuk menyambut kelahiran bayi yang sudah dihimpun dari berbagai sumber.
1. Brokohan
Brokohan adalah tradisi upacara adat jawa untuk menyambut kelahiran bayi. Kata Brokohan sendiri diambil dari kata ‘Barokah’ yang artinya ‘Berkah’. Acara ini memohonkan berkah atas keselamatan dan kelahiran bayi.
Jadi brokohan adalah tradisi adat jawa yang dilaksanakan oleh seseorang ketika seorang Ibu melahirkan anak, dengan harapan bisa mendapatkan keberkahan. Acara ini juga sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan YME karena telah diberikan rizki dan kelancaran dalam melahirkan.
Tradisi Brokohan kerap disebut dengan bancaan. Tradisi ini dipercaya sudah ada sejak zaman Jawa Kuno. Mulanya, Brokohan dilakukan dengan meditasi, tetapi sekarang tradisi ini dilakukan dengan berdoa memohon keberkahan.
Perubahan tradisi masyarakat Jawa ini dilakukan agar tidak melenceng dari ajaran Islam. Adapun kegiatan dilakukan dengan mengundang tetangga dan kerabat untuk berdoa bersama dan menyajikan makanan kepada para tamu undangan.
Baca Juga:
2. Tradisi Sepasaran
Tradisi sepasaran ini digelar selepas lima hari sejak si jabang bayi dilahirkan. Misal, si bayi lahir pada pasaran kliwon, maka sepasaran-nya dilakukan pada pasaran kliwon selanjutnya. Dalam tradisi sepasaran ini biasanya pihak keluarga bayi yang baru lahir mengundang para tetangga sekitar, umumnya kaum bapak-bapak. Keluarga besar pun biasanya turut hadir mengikuti. Mereka berkumpul untuk ikut mendoakan atas kelahiran sang bayi ke dunia.
Inti sepasaran ini adalah upacara selamatan sekaligus momen mengumumkan nama bayi kepada para tetangga yang hadir. Sepasaran ini biasanya digelar secara sederhana dengan digelar kenduri/hajatan. Namun, bagi sebagian keluarga yang mampu kadang digelar secara besar-besaran layaknya punya hajat menikahkan anak (mantu).
3. Tradisi Puputan
Tradisi puputan biasa digelar untuk bayi yang baru lepas tali pusarnya. Bayi yang baru lahir umumnya masih menyisakan tali pusar dengan panjang yang berbeda-beda. Sisa potongan itu menempel di pusar si bayi sampai waktu yang tak bisa diprediksi kapan lepasnya. Tali pusar itu akan lepas dengan sendirinya. Umumnya, lepas dalam waktu antara lima sampai 10 hari.
Saat lepas itulah si jabang bayi akan hilang rasa sakit yang ditahannya dari sisa potongan tali pusar tersebut. Sebagai bentuk syukur, makanya keluarga si bayi biasanya menggelar puputan ini. Dalam tradisi puputan ini keluarga si bayi mengundang para tetangga untuk kenduri/hajatan sederhana.
Ada pula di sejumlah daerah yang tak perlu mengundang orang, melainkan langsung membagikan berkatnya ke rumah-rumah tetangga sekitar. Mereka berkumpul di rumah keluarga si bayi bakal memanjatkan doa bersama kepada Tuhan Yang Maha Esa. Doa ini ditujukan agar si anak yang telah cuplak/puput pusarnya selalu diberkahi, diberi keselamatan dan kesehatan. Berkat/makanan untuk kenduri atau yang langsung dibagikan kepada tetangga sekitar itu umumnya berupa jenang merah. Jenang tersebut merupakan bentuk rasa syukur sekaligus harapan besar untuk si bayi agar membawa keberkahan.
4. Tradisi Aqiqah
Tradisi aqiqah merupakan salah satu tradisi Jawa yang masuk dalam rangkaian upacara adat menyambut bayi baru lahir. Sejatinya, aqiqah merupakan pengaruh dari ajaran Agama Islam yang merupakan sunah Nabi Muhammad SAW. Orang Jawa yang beragama Islam melaksanakannya untuk meneladani sang nabi.
Aqiqah kerap dilaksanakan bersamaan dengan tradisi selapanan. Tradisi selapanan sendiri biasanya dilakukan 35 hari setelah bayi terlahir. Ada pula yang melakukan kedua tradisi itu secara terpisah. Dalam tradisi aqiqah ini, orang tua si jabang bayi melakukan kurban dengan menyembelih hewan peliharaan. Umumnya, yang disembelih berupa kambing/domba. Jumlah hewan yang disembelih sebagai kurban untuk bayi laki-laki dan bayi perempuan berbeda-beda.
Khusus untuk bayi laki-laki berjumlah dua ekor, sedangkan bayi perempuan satu ekor saja.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan mereka agar beraqiqah dua ekor kambing yang sepadan (umur dan besarnya) untuk bayi laki-laki dan seekor kambing untuk bayi perempuan (HR Abu Daud).
Setelah disembelih, kambing itu dimasak, lalu dibagi-bagikan kepada para tetangga dan kerabat.
Baca Juga:
5. Selapanan
Tradisi selapanan dilakukan dalam rangkaian menyambut bayi yang baru lahir. Untuk menghitung kapan digelarnya upacara selapanan ini ada caranya tersendiri.
Umumnya, tradisi ini digelar 35 hari selepas si jabang bayi terlahir ke muka bumi. Tradisi selapanan ini dilangsungkan dengan rangkaian acara bancakan weton atau kenduri. Rangkaian acara itu digelar dalam satu hari yang sama. Biasanya, dalam momen selapanan ini, rambut si bayi dicukur. Ada yang mencukurnya sampai gundul, ada pula yang cuma mencukur sebagian ujung rambutnya saja.
Selain rambut, ada pula pemotongan kuku si bayi. Mulai dari kuku tangan hingga kuku kaki dipotong untuk pertama kalinya. Tujuan dari pemotongan kuku dan rambut hingga gundul maupun sebagian itu adalah demi menjaga kesehatan si bayi. Pemotongan itu dimaksudkan agar kulit kepala dan jari bayi tetap bersih.
Sementara, bancakan selapanan bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur atas kelahiran si jabang bayi. Momen itu sekaligus menjadi ajang berdoa bersama agar ke depannya si bayi selalu diberi kesehatan, cepat besar, dan doa-doa kebaikan lainnya.
6. Tedak Siten
Tedak siten adalah budaya warisan leluhur masyarakat Jawa untuk bayi yang berusia sekitar tujuh atau delapan bulan. Tedak siten dikenal juga sebagai upacara turun tanah. Berasal dari kata ‘tedak’ yang berarti turun dan ‘siten’ berasal dari kata ‘siti’ yang berarti tanah.
Upacara tedak siten ini dilakukan sebagai rangkaian acara yang bertujuan agar anak tumbuh menjadi anak yang mandiri. Tradisi ini dijalankan saat anak berusia hitungan ketujuh bulan dari hari kelahirannya dalam hitungan pasaran Jawa.
Selain itu, tedak siten juga diiringi doa-doa dari orang tua dan sesepuh sebagai pengharapan agar kelak anak sukses menjalani kehidupannya. Upacara adat ini digelar sebagai bentuk rasa syukur karena sang Anak akan mulai belajar berjalan.
Selain itu, upacara ini juga merupakan salah satu upaya memperkenalkan anak kepada alam sekitar dan juga ibu pertiwi. Hal ini juga merupakan perwujudan dari salah satu pepatah Jawa yang berbunyi “Ibu pertiwi, bopo angkoso” (Bumi adalah ibu dan langit adalah Bapak).
Baca Juga:
7. Setahunan
Setahunan adalah selamatan bayi yang berumur 1 tahun (Jawa) atau 420 hari (12 x 35 hari). Bagi orang Jawa, selamatan setahunan ini tidak sepenting selamatan tedhak siten atau pitonan. Mereka biasanya menyelenggarakan selamatan setahunan dengan lebih sederhana dibandingkan dengan pitonan.
Itu dia tradisi Jawa dalam menyambut kelahiran bayi. Ternyata selain unik, tradisi masyarakat Jawa tersebut juga punya makna simbolik, yaitu mendoakan kesehatan dan kebaikan bagi bayi yang telah lahir. Gimana? Pengetahuanmu tentang tradisi lokal jadi makin bertambah, kan?
Baca Juga: Alat Musik Tradisional Angklung Buhun, Kesenian Khas Masyarakat Badui Yang Penuh Aroma Mistis