Setiap tahun, 10 November di Indonesia diperingati sebagai hari pahlawan. Ratusan tahun lamanya, para pahlawan kita telah berjuang keras demi kemerdekaan bangsa kita.
Secara etimologis, kata “pahlawan” berasal dari bahasa Sanskerta “phala”, yang bermakna hasil atau buah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pahlawan merupakan seseorang yang menonjol karena memiliki keberanian dan jiwa pengorbanan untuk membela kebenaran dengan gagah berani.
Sejarah hari pahlawan
Jika ditilik ke belakang, maka Hari Pahlawan Nasional sejatinya sangat berkaitan dengan pertempuran antara Surabaya dengan Sekutu. Pada tanggal 31 Agustus 1945, pemerintah Indonesia menyerukan agar Bendera Merah Putih dikibarkan di seluruh wilayah Indonesia. Pada tanggal 19 September 1945, pemuda dan pejuang Surabaya merobek warna biru pada Bendera Belanda yang dikibarkan di hotel Yamato sehingga hanya tersisa warna merah putih saja.
Selanjutnya, pada tanggal 25 Oktober 1945 pasukan Inggris dan Belanda termasuk rombongan Sekutu memasuki kota Surabaya. Pasukan ini tergabung dalam Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI) untuk melucuti senjata tentara Jepang.
Tanggal 27-30 Oktober 1945 menjadi saat dimulainya perang antara pasukan Inggris dan Arek-Arek Surabaya yang akhirnya menewaskan pemimpin pasukan Inggris di Jawa Timur, Brigadir Jenderal Aubertin Mallaby yang kemudian digantikan oleh Mayor Jenderal Robert Mansergh yang saat itu memilikj gelar Komandan Divisi 5 Inggris.
Pada tanggal 9 November 1945, Mansergh mengeluarkan beberapa poin peraturan kepada rakyat di Surabaya, yaitu :
- Seluruh pemimpin Indonesia di Surabaya harus melaporkan diri
- Seluruh senjata yang dimiliki pihak Indonesia di Surabaya harus diserahkan kepada Inggris
- Para pemimpin Indonesia di Surabaya harus bersedia menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat.
Penolakan segenap warga Indonesia terhadap aturan tersebut sontak memicu pertempuran besar tepat pada tanggal 10 November 1945. Pertempuran ini mengakibatkan jatuhnya korban sebanyak ribuan jiwa dan hancurnya kota Surabaya.
Berdasarkan peristiwa besar itu, Presiden Soekarno akhirnya menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan Nasional yang diperingati setiap tahunnya.
Baca Juga:
Siapa yang layak menyandang gelar pahlawan saat ini?
Jika menyebut kata pahlawan, yang terbayangkan adalah sosok pejuang revolusi berpakaian tentara atau “kostum” gerilya, sambil tangannya menggenggam senjata atau bambu runcing. Seperti itulah sosok pahlawan yang tergambarkan pada berbagai monumen di banyak kota, termasuk di Surabaya.
Banyak frasa dan istilah yang beredar bebas di masyarakat Indonesia dengan kata utama ‘pahlawan’. Mulai dari pahlawan revolusi, pahlawan kemerdekaan, hingga pahlawan kesiangan, pahlawan tanpa tanda jasa, bahkan pahlawan bertopeng-nya Sinchan.
Frasa dan istilah mengenai ‘pahlawan’ seperti demikian memberikan pengaruh untuk terciptanya banyak persepsi yang melengkapi kata ‘pahlawan’ tersebut dengan atribut-atribut tertentu. Kebiasaan masyarakat untuk menambahkan atribut sebagai bumbu dalam pemaknaan kata ‘pahlawan’ inilah yang kemudian memberikan rasa masing-masing kepada setiap penabur bumbu tersebut.
Oleh karenanya, pahlawan dalam konteks ini adalah ketika ia mampu berjuang dan bekerja secara ikhlas. Pahlawan yang mampu berjuang atas nama bangsa dan negara adalah ketika ia mampu menerjemahkan segala realitas keluh kesah rakyat dalam aksi nyata.
Pahlawan yang menjadi teladan bersama adalah ketika ia bisa berjuang dari awal hingga akhir. Ia selalu konsisten atas setiap prinsip yang dipegangnya. Ia berada di jalan yang lurus walaupun jiwanya terancam.
Baca Juga:
Pahlawan yang sesungguhnya adalah ketika ia bisa bersuara lantang tanpa takut kepada penguasa. Ia tidak memerlukan tepuk tangan dari publik atas jasanya. Namanya pun tidak butuh diukir dalam sejarah perjuangan bangsa. Ia juga tidak berpikir sama sekali, bahwa bila ia meninggal dalam peperangan kemudian harus dibukukan dalam sejarah perjuangan bangsa.
Jika makna pahlawan diartikan sebagai tokoh atau hero dengan nama besar, maka harus diakui, negeri ini sedang dilanda krisis kepahlawanan. Amat sulit menemukan tokoh yang layak dijadikan panutan, layak diteladani dan diamini tiap kata-katanya, tokoh yang mampu berpikir besar dengan langkah-langkah besar demi bangsa dan negara.
Terlepas apa pun jawabannya, kita selalu mengharapkan ke depan akan tetap muncul pahlawan yang memang benar-benar pahlawan, bukan pahlawan kesiangan ataupun pahlawan bertopeng yang hanya mencari sensasi dan pencitraan.
Baca Juga: Dilema Dokter Moewardi, Pahlawan Nasional Yang Tak Dikenal di Tempat Asalnya