Sekolah Elit Implementasi Sulit, Telaah Terhadap Ekosistem Belajar Yang Menyenangkan


Ilustrasi sekolah

Sekolah elit implementasi sulit, begitulah agaknya kata yang tepat untuk menggambarkan sebuah lembaga yang mengklaim dirinya sebagai satu-satunya tempat belajar. Meningkatkan kedisiplinan dengan model paksaan dan meningkatkan pengetahuan dengan gaya bank. Ekosistem belajar seperti ini sudah menjadi hal yang lumrah di setiap sekolah-sekolah yang kebanyakan ada di negeri ini, persaingan antar siswa atau bahkan persaingan antar lembaga itu sendiri menjadi ciri khas yang paling menonjol.

Entah sampai kapan keadaan ini terus berkembang, bahkan menjamur di dalam benak masyarakat. Sekolah-sekolah semacam ini menistakan bakat alamiah siswa, menistakan kerjasama antar siswa, dan menistakan kepercayaan diri masing-masing siswa. Belum lagi, lembaga-lembaga pendidikan sekolah yang selalu bersaing satu sama lain, berlomba-lomba menunjukan prestasi-prestasi menjadi cikal bakal tumbuhnya disharmonisasi kehidupan. Benarkah?

Anda bayangkan! Pertama, prestasi yang diraih siswa dari hasil pengkotak-kotakan mata pelajaran menjadikan siswa manusia yang serba bebal. Mereka yang berprestasi akan terus berlomba-lomba mempertahankan posisi itu, sedangkan siswa yang tidak berprestasi kepercayaan dirinya akan terus menurun.

Secara tidak langsung sekolah mencetak siswa yang senang mengungguli orang lain. Rasa kerjasama maupun gotong royong akan hilang, bahkan yang lebih miris lagi tercipta sebuah kelompok yang terbentuk atas dasar kasta. Yang cerdas dengan si cerdas dan yang pemalas dengan si pemalas.

Baca Juga:

Selanjutnya, yang kedua, lembaga pendidikan yang terus berlomba-lomba menunjukkan eksistensinya di hadapan publik dengan penampilan-penampilan seremonial yang menunjukan bakat atau pun prestasi siswa yang notabene penuh kepalsuan, juga menjadi cikal bakal terciptanya permusuhan antar lembaga-lembaga pendidikan sekolah.

Tidak jarang keadaan ini memunculkan stigma tentang, sekolah berkualitas dengan sekolah yang tidak berkualitas. Sekali lagi!, masing-masing lembaga lebih senang mengungguli satu sama lain dibanding dengan kerjasama untuk menciptakan ekosistem belajar yang memerdekakan.

Bukankah ada pembelajaran agama di sekolah?

Yah, saya amat yakin di setiap lembaga-lembaga sekolah memiliki pembelajaran keagamaan. Materi-materi keagamaan memang diajarkan di dalam sekolah, namun agaknya dapat dikatakan itu hanya sebuah formalitas saja. Nyatanya! Kultur-kulturnya pun masih jauh jika untuk dikatakan telah menerapkan kultur keberagamaan, seperti contoh di atas masing-masing siswa dan masing-masing lembaga lebih senang mengungguli dibandingkan dengan kerjasama serta masing-masing siswa dan masing-masing lembaga senang menampilkan sikap permusuhan dengan dalih sekolah terelit. Bukankah dalam beragama kita diajarkan untuk tidak sombong dan bergotong royong?

Keadaan ini tercipta akibat paradigma sempit tentang pembelajaran. Pembelajaran selama ini digambarkan dengan sebuah keadaan dimana siswa masuk ke dalam kelas, duduk, diam sembari mendengarkan guru menjelaskan mata pelajaran.

Keadaan pembelajaran lebih menekankan tentang pemahaman materi dan pendefinisian, bukan malah justru menekankan ke arah pemahaman esensial, ditambah ilustrasi-ilustrasi halusinasi menjadi daftar panjang yang harus dihafalkan oleh siswa. Akhirnya, keadaan ini memunculkan lulus-lulusan yang tidak mampu menghadapi situasi dalam kehidupan nyata serta lulusan-lulusan yang  tidak mampu menerapkan hasil belajarnya ke dalam dunia nyata.

Lembaga semacam ini lebih tepatnya menganggap bahwa ekosistem belajar yang baik harus terasa hening. Kedisiplinan lebih tepatnya dianggap sebagai sebuah keadaan yang tenang dan penuh ketaatan. Baginya keadaan belajar yang berantakan dan penuh dengan hiruk pikuk dicap sebagai pendidikan abal-abal. Padahal, keadaan belajar yang berantakan penuh dengan keributan justru menggambarkan betapa tingginya rasa ingin tahu dan betapa tingginya semangat anak-anak untuk belajar.

Ketika seorang anak atau siswa dibebaskan untuk berekspresi dan dibebaskan untuk belajar senyaman mereka, maka itu akan membangkitkan motivasi belajar yang tinggi, sekaligus mereka akan benar-benar terlihat potensinya.

Keadaan belajar semacam ini mungkin akan mengakibatkan siswa tidak paham dengan materi dan menurunkan nilai mereka, akan tetapi belajar semacam inilah suatu saat akan memunculkan lulusan-lulusan yang siap melibas habis problematika dunia nyata, dibanding dengan lulusan yang mengandalkan nilai sebagai tolak ukur kompetensi, akan tetapi dari aspek implementasi nihil.

Selanjutnya, di sekolah-sekolah semacam ini memiliki sebuah paradigma yang cukup kuat, yakni guru adalah pusat dari pengetahuan, sehingga dia layak untuk dijadikan rujukan pembelajaran, dia layak untuk diikuti langkah-langkahnya, dan layak untuk dihormati atau yang sering diucapkan “guru digugu lan ditiru”. Paradigma semacam ini memang tidak sepenuhnya salah, maksudnya juga baik, yakni menumbuhkan sikap sopan santun kepada siswa, namun kenyataanya tetap nihil.

Kedisiplinan, ketaatan, dan kehormatan yang diperagakan oleh siswa tidak lain dan tidak bukan hasil dari sebuah aturan yang memaksa, bisa dikatakan itu sebuah kepalsuan. Keadaan ini tidak hanya dialami oleh siswa, melainkan guru juga pun sama. Hormatnya, taatnya, dan profesionalnya adalah atas dasar keterpaksaan akan sebuah peraturan yang ada.

Belum lagi ditambah maraknya aturan yang berlaku untuk guru di masing-masing sekolah, misalnya guru harus mengenakan seragam A pada  hari senin, B pada hari selasa dan seterusnya. Belum guru harus merias wajahnya dan berwibawa. Alhasil, mereka tidak mampu menjadi dirinya sendiri dan tidak bisa mengekspresikan dirinya sendiri. Lantas bagaimana siswa akan mengimplementasikan hasil belajarnya, wong gurunya saja sama-sama tidak bisa?.

Baca Juga:

Sekolah harus menjadi ekosistem belajar yang menyenangkan

Apakah pembelajaran yang menyenangkan itu yang bebas tanpa batasan? Tentu tidak. Kebebasan dalam belajar artinya mampu menghargai individualitas dan mengerti akan kebebasan individual serta kebebasan sosial. Aturan yang dibuat dalam pendidikan, bukan justru berdampak positif pada siswa, melainkan hanya membuat siswa semakin memberontak dan terkesan bodoh.

Bayangkan! Anda seorang guru yang diwajibkan memenuhi syarat administrasi, seperti membuat program tahunan, program semester, silabus, dan rencana pembelajaran, maka secara tidak langsung anda telah menilai orang yang baik adalah orang yang masuk ke dalam standar penilaian anda sendiri. Alhasil, mereka (kecuali hanya sebagian) terlihat bodoh dan nakal.

Setiap siswa, setiap manusia itu unik dan memiliki kebutuhan khususnya masing-masing. Hal ini juga tidak luput pada masalah belajar dan cara mereka berbuat baik. Terkadang kita terlalu naif menilai orang lain dengan standar kita sendiri, padahal jika direnungkan keadaan ini justru menjadi bumerang untuk kita sendiri. Awal mula siswa atau anak didik mau menerapkan hasil belajarnya adalah ketika dia sadar akan apa yang mereka pelajari. Dan sebuah pembelajaran yang menyadarkan adalah pembelajaran yang menyenangkan tanpa sebuah paksaan dari aturan yang tidak masuk akal.

Ekosistem belajar yang jauh dari paksaan akan menumbuhkan sikap menghargai suatu proses pada anak, hal ini disebabkan karena setiap guru atau setiap lembaga pendidikan tidak terpaku dan tidak mendewakan hasil akhir.

Terkadang orang dewasa banyak yang tidak percaya bahwa anak didik mampu untuk menggerakkan dirinya sendiri, tanpa perlu paksaan, aturan, hukuman, hadiah, dan sogokan. Keadaan belajar semacam inilah suatu saat akan memunculkan lulusan-lulusan yang mampu mengimplementasikan hasil belajarnya masing-masing.

Baca Juga: Sekolah Kok Seram, Sebuah Kritik Terhadap Pendidikan Konvensional

BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.


Explorer

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *